Thursday, October 18, 2018

PURNAMA TERAKHIR DI MUSIM KEMARAU

But don't you dare let our best memories bring you sorrow
Yesterday I saw a lion kiss a deer
Turn the page, maybe we'll find a brand new ending
Where we're dancing in our tears 
- Lost Stars, Keira Knightley 
DAHAYU
“Dari sekian banyak hati yang terpaut, tempat ini yang selalu membawa maaf.
Kamu tahu kenapa? Karena di tempat ini kita pernah saling berbagi malam dan saling bercerita hingga pagi.
Marah pernah kamu tuangkan di sini, apalagi benci.
Sayang dan cinta terlalu naïf untuk kamu bicarakan di tempat ini.
Namun, aku selalu suka tempat ini” Begitu ujarku pada dia yang sudah berlama-lama diam, tanpa bicara.

“Ya aku tahu, kita memang pernah saling menghangatkan, meski keberadaan dan keadaan selalu terbantahkan” Aku melanjutkannya lagi, dia masih juga diam.

Tegukan kedua. Segelas pun masih belum habis. Lebih baik berbicara dengan sulutan amarah, daripada berbicara dengan yang diam. Seakan aku tak didengarkan. Ya, aku sudah biasa.

Lantunan lagu sendu sebaiknya jangan diperdengarkan dulu untuk saat ini. Lebih baik aku mendengarnya berbicara. Aku rindu suara beratnya yang seperti butiran suara ombak, desir pasir, serta angin hangatku rasa. Perempuan seketika lemah, ketika tangan lelaki mengusap rambutnya. Begitu, kah? Aku lemah. Sudah disangka,

By the way, aku cuma mau bilang, aku pernah berada pada titik bahwa kita saling menemukan. Ya, aku menemukanmu, tapi kamu menghilang begitu saja, tapi ya, gak apa-apa”. Aku rasa, dia mulai tersenyum.

Setidakanya, aku hanya perlu mengalami jatuh sekali. Begitu pula kamu. Kita sama-sama pernah jatuh. Membangun kembali yang jatuh, bisa jadi menjadi baik atau bahkan bisa menyakiti satu sama lain. Tenanglah, aku sadar akan itu. Bersandar di bahunya adalah kepingan surga bagiku. Hangat, meski hatinya dingin. 

Fajar di bulan kemarau ada di tepi malam kita hari ini. Rahasia dan cinta kadang saling bersinggungan, tapi mereka enggan dikaitkan. Kepalaku berada di atas dada lapangnya. Ini tempat yang aku ceritakan. Tempat yang paling aku suka.

Sayangnya, jauh sudah kita melangkah datang dan pergi, tapi lupa kapan pertama kali kita saling mendekat. Seperti yang mereka bilang, ribuan purnama sudah kita lewatkan, tetapi hanya purnama kali ini aku merasa kembali dekat denganmu, seperti pertama kali bertemu. Aku tahu, mungkin kemarau ini adalah kemarau terakhir bagiku, begitu juga bagimu.

Tabebuia dan kemarau selalu menjadi teman baik. Nak, beberapa kemarau sudah kita lewati bersama, tetapi lelaki yang harus kau panggil ayah ini masih belum mengetahui jika kau ada, kau tumbuh, dan kau hidup. Biar hanya rindu yang memberi tahunya, karena hidup berdua denganmu adalah cukup.


REZA
Kita tak akan pernah tahu sampai kapan rasa satu sama lain akan bertahan. Jika ternyata memang kita kembali menjadi sesama orang asing yang tak mengenal, jika kita memaksa, maka kita melawan kehendak Tuhan. Seharusnya tidak ada pertemuan, bahkan sapaan pun seharusnya tidak pernah ada.

Ya. Aku tahu. Seberapa jauh kita pernah melangkah pergi, melempar, lalu membuang serpihan yang pernah digenggam, semuanya akan tetap menyelinap dalam ingatan. Kita bukan hanya pernah saling mengenal dan mendekatkan jarak, tetapi kita sering kali menjauh tanpa alasan yang jelas. Oh...tidak, bukan tanpa alasan, ada banyak alasan yang jelas mengapa ada hubungan seperti kita.


Malam ini, setelah hujan dan sekembalinya aku dari Pasar Santa untuk sekadar ngopi dan membeli beberapa barang, ke Selatan Jakarta aku mengarah ke sebuah tempat yang pertama kali aku datangi. Seseorang mengundangku. Di sebuah apartemen yang lebih cocok disebut rumah susun, aku berkunjung ke tempat itu untuk menemui seseorang yang asing bagiku, ia menghubungiku melalui surel. Kami berkomunikasi dan bercerita mengenai banyak hal, hingga aku mencium beberapa kecurigaan. Aku penasaran. Saatku mengetuk pintu, lalu peremupuan berusia 30-an membuka pintu. Aku kaget bukan main, begitu pun dia.

Lama aku mengenalnya. Lama pula aku tak berjumpa dengannya. Wajahnya masih terlihat sama, rambut pendeknya masih seperti dulu, hanya garis wajah yang berbeda. Aku dan dirinya sama-sama menua. Senyumnya masih hangat, walau aku tahu perasaanya bercampur aduk setelah bertahun-tahun aku pergi dengan hanya meninggalkan surel padanya.

Kita lebih banyak diam, bukan kita, tapi aku. Ia sedikit banyak berbicara soal hubungan yang pernah kita jalani. Aku hanya mendengarkannya. Aku takut untuk bicara, bahkan aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku merasa, aku terlalu jahat padanya. Dia mendekap di dadaku tanpa berkata. Detak jantungnya berpacu cepat.

Sejujurnya, aku ingin kembali, tapi tidak bisa. Semua keadaan sudah berbeda. Aku ingin meminta maaf, tapi aku tahu sejujurnya dia tidak akan memaafkanku, meski tubuhnya sekarang berada dalam dekapku. Ia hanya diam, tidak lagi bicara, wajahnya memerah seakan ada yang ingin dia katakan lagi.

jauh, aku hanya ingin bilang, kalau aku hanya rindu, tetapi bukan berarti kita bisa bersatu lagi.
Aku tidak bisa.
Aku sudah menjadi seorang ayah juga seorang suami.
Aku  tidak datang untuk meminta dimaafkan, karena aku sadar, aku terlalu jahat padamu”
Semua jadi kebalikan, wajahku yang memerah dan air mukaku seakan mengering, dan mataku terasa menghangat.

Dahayu tersenyum dan menjawab, “tidak apa, aku sudah tahu”

TABEBUIA

Aku hanya bisa diam dan mengintip ibu sedang berada di ruang tamu bersama seorang pria. Ketika suara ketukan pintu itu datang, ibu mengintip dari balik pintu. Ibu menyuruhku segera bersembunyi di balik kamar ibu. Kata ibu, aku harus diam di kamar, tidak boleh ke mana-mana, dan tidak boleh membuat suara apapun. Aku berusaha mendengarkan obrolan antara ibu dan pria dengan sedikit uban itu dari balik pintu.


Mungkin ibu kira aku tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa. Aku sudah besar, Bu! Usiaku sudah menuju tahun ke-12. Aku tahu siapa pria itu, bahkan jika ibu tahu, aku yang mengundangnya ke tempat ini. Apakah ibu sadar, mana mungkin ada orang yang bertahun-tahun tidak bertemu lalu dengan begitu saja datang menemui tempat tinggal baru ibu.

Bu, aku hanya ingin menyapanya dan memanggilnya Ayah. Apa boleh? Meski aku tahu, bahwa aku punya ibu tiri dan saudara tiri peremuan juga yang hampir seumuran denganku. Aku tidak apa-apa.  Semuanya tidak mudah bagi ibu dan aku tahu. Aku hanya ingin mendobrak pintu ini, berlari, lalu memeluk kalian dan memanggil pria itu “AYAH!”

Sudah setahun ini aku mencari keberadaan ayahku. Aku mengobrak-abrik seisi rumah eyang saat pindah ke rumah susun ini, aku tidak menemukan apa pun tentang ayah. Sebelum eyang wafat, aku selalu bertanya pada eyang mengenai ayah, tetapi eyang hanya menjawab “Tanya saja ibumu, aku tidak boleh bicara soal ayahmu.”

Jika aku tanya ibu mengenai ayah, ibu menjawab “Yang sayang, cinta, dan melindungi kamu itu aku, ibumu, bukan ayahmu”, sebagai anak-anak aku kebingungan. Semakin besar, aku semakin penasaran dengan sosok ayah. Hingga pada suatu saat ibu tertidur dengan laptop yang masih menyala, aku melihat dan mencari apa ada jejak soal ayah.

Ya, semua tentang ayah ada di laptop ibu. Ibu menyimpannya dengan baik dalam bentuk digital. Pantas saja aku tidak menemukannya dan kebetulan, saat ibu tertidur dan meninggalkan laptopnya, ibu sedang membuka surel dari seorang pria bernama Reza 12. Email itu dikirim 12 tahun lalu, tepat beberapa bulan sebelum aku lahir. Aku semakin bersemagat untuk mencari tahu asal-usul pria bernama Reza itu. Aku pun nekat menghubungi pria itu melalui surel.

Bermodal alamat surel, aku menghubungi pria itu dengan alamat surel fiktif, berpura-pura menjadi teman lamanya. Aku mengarang agar dia pun menebak-nebak siapa teman lama yang telah dilupakannya. Aku memancing agar dia bercerita mengenai kehidupannya.

Aku mengitip akun media sosialnya. Ia adalah seorang pria 38 tahun yang berbeda usia 4 tahun dengan ibu. Ia pria dengan karir cemerlang  di dunia seni. Sudah mempunyai istri yang tidak kalah cantik dengan ibu dan mempunyai 1 anak perempuan yang hampir seumuran denganku. Ia tidak tinggal di Jakarta, melainkan di sebuah kota kecil selatan pulau Jawa. Aku tidak mengerti, mengapa pria ini bisa bertemu ibu, padahal tempat tinggal ibu dan pria ini sangat berjauhan.

Pria itu bilang, bahwa ia akan ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Ini kesempatanku, aku ingin bertemu pria yang aku curigai bahwa pria ini adalah sosok ayah. Aku memintanya untuk datang ke sini dan anehnya, ia setuju. Alasan terkuat mengapa aku mencurigai ia sebagai Ayah. Di surel ibu tidak ada surel dari pria lain (Selain urusan pekerjaan) yang menguhubungi ibu dan selama ini ibu tidak pernah punya pacar. Selain itu, aku juga menemukan surel yang berisikan kata-kata romantis dari pria itu untuk ibu. Ya surel 12 tahun lalu.

Aku tidak berani membuka pintu. Ibu pasti akan marah. Aku hanya bisa mengintip dari balik lubang pintu. Ayah memeluk ibu. Aku segera mengetik surel untuk ayah. Aku harap, ayah membacanya sebelum ia pulang.

DAHAYU
Aku berharap hari ini tidak segera berakhir. Aku tahu kamu sudah jadi milik orang lain, tapi biarkan aku memelukmu beberapa saat, karena setelah ini hari-hariku akan berjalan lagi seperti biasa.

Hati kecilku, ingin kamu tahu, bahwa benih Tabebuia yang kamu berikan 12 tahun lalu benar-benar tumbuh dan hidup. Sayangnya, ini bukan saatnya, aku tidak mau kami tahu, aku takut hari-hariku berubah setelah kamu tahu.

REZA
Siapa yang mengirim surel itu padaku? Dahayu? Rasanya tidak mungkin orang seperti Dahayu berpura-pura menjadi teman lamaku. Ia bukan orang seperti itu. Pasti ada seseorang di balik ini. Aku penasaran. Mataku berkeliaran melihat apakah ada orang di ruangan ini selain aku dan Dahayu.

“Yu, sebaiknya aku pulang, ini sudah gelap, aku pun masih ada pekerjaan yang harus diselelsaikan” kataku.

“Iya. Tidak apa-apa. By the way, kenapa kamu bisa ada di sini? Kenapa kamu tahu tempat tinggal baruku?”

Aku hanya tersenyum. Aku bingung untuk menjawabnya. Aku tidak tahu harus menjawab apa, tetapi aku sungguh penasaran. Siapa orang dibalik surel tersebut. Aku memilih untuk pulang, padahal sebenarnya aku sedang tidak dalam pekerjaan. Aku hanya takut keadaan membuatku lupa dengan Arlana dan Maria.


Halo pak Reza,
Maaf kalau aku bikin pak Reza bingung.
Perkenalkan, namaku Tabebuia, aku perempuan dan usiaku baru menuju 12 tahun.
Pak Reza pasti mencari aku ya? JIka iya, sebaiknya pak Reza segera kembali ke rumah susun ibuku.
Aku ada di balik pintu kamar ibu. Aku menguping dan mengitip kalian.
Ibu tidak memperbolehkanku keluar kamar saat Pak Reza mengetuk pintu dan ibu mengintip dari dalam.
JIka sudah menemukanku, apa boleh aku panggil Pak Reza dengan sebutan “Ayah”?

Salam,
Tabe.

Tidak lama setelah Reza keluar dari ruangan tersebut, Tabe segera keluar kamar dan berharap pria itu kembali untuk mengetuk pintu dan memeluknya.

Dahayu tetap meminum kopi sambil merokok di balkon rumah susun, seakan tidak terjadi apa-apa.

Tabe duduk menonton TV sembari melirik ke arah pintu. Berharap pria yang ingin ia panggil Ayah itu datang kembali untuk memeluknya.

Reza berjalan pulang sambil membuka ponselnya, lalu membaca surel dari Tabe, ia menangis, perasannya tak karuan. Ia ingin kembali untuk mengetuk pintu. Namun, ia tidak sanggup. Kakinya terasa kaku dan jarinya terasa membeku.

Surel itu pun tidak pernah Reza balas. Tidak ada lagi pria yang mengetuk pintu itu lagi di musim kemarau. Semuanya terlihat berjalan seperti biasa, seakan kejadian hari itu tidak pernah terjadi.

Wednesday, May 24, 2017

Bandung dan Bagian Hati yang Lain

“Dan Bandung bukan hanya membuatmu jatuh hati, sering kali menjadikanmu seseorang yang patah hati”
pic: pinterest
“Cepat pulang ya, aku sendirian di sini. Aku bosan” Begitu katanya. Ia menyedorkan segelas teh hangat kesukaanku saat aku dating dan saat aku akan kembali ke Jakarta di Senin dini hari. Ah, perempuan itu selalu membuatku ingin kembali.
Bandung bukan hanya sebagai bijanaku, namun Bandung adalah bagian hatiku yang lain. Sejauh apa pun kamu pergi, kamu akan tetap rindu pulang dan membutuhkan rumah. Romantisme Jakarta di Jumat ketiga meredakan segala amarahku padanya, namun hanya sebentar. Aku membutuhkan pulang.
Hari itu, di Jumat ketiga di bulan Desember yang hujan. Aroma tanah basah seakan menyambutku datang. Seorang perempuan berambut sebahu dan bermata indah itu pasti sudah menantiku. Biasanya secangkir teh hangat akan menyambutku ketika pulang. Senyum terpancar di rona pipinya sudah aku bayangkan seharian.
Sebuah peluk menjadi candu sedari dulu dan belaian hangat yang tak akan tergantikan. Senyum simpul ketika aku membuka pintu dan yang dirindu pun tidak ada di tempat biasanya. Kemana ia pergi? Ku cari setiap sudut ruang yang dinamakan rumah, ternyata tidak ada. Tak ku temukan pula sebuah memo yang biasa ia catat setiap hari Jumat. Jangan berpikir bahwa ada secangkir teh hangat yang biasanya tersedia di kamarku.
Aku yang kelelahan tetap berusahan mencarinya, ini sudah lebih dari tengah malam. Di mana keberadaan tempat aku pulang? Sayangnya, ia hanya di sini sendirian, salahnya aku terlalu berjarak dengannya. Aku kebingungan dan aku kelelahan.
pic: pinterest
 “Aa, maaf saya tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Saya yakin, kamu bisa lebih berlapang dada menerima kenyataan.
Aa, saya taruh teh oolong kesukaanmu yang selalu saya buatkan setiap Jumat tengah malam di toples kaca di sudut dapur. Kamu bisa buat tehnya sendiri kan?
Aa, selalu ingat Allah di hatimu, jaga diri baik-baik, jangan kebanyakan makan gorengan, minum air putih yang banyak, dan kembalilah pada istri juga anak-anakmu.”
Begitu barisan kata yang Lidya tulis dalam secarik kertas. Hatiku patah. Aku harus mencari Lidya. Namun, aku harus mencarinya ke mana? Dia sendirian di kota ini. Mataku basah, air mukaku yang lelah semakin larut dalam kesedihan.
Sabtu pagi mataku terbangun dengan rasa yang hampa dan penuh kepedihan. Oh Lidya, aku harus mencarimu ke mana? Sebentar….Ini bukan rumah Lidya. Suasana serba kayu mendominasi rumah Lidya, namun sekarang aku berada di sebuah ruangan serba putih. Aku merasa hilang.
“Theresa? Jaden? Andra?” Ali menatap seorang perempuan dan dua anak laki-laki, ia berlari dan memeluk erat ketiganya.
“Aa, kamu sudah di rumah dan satu tahun ini kamu berada di Bandung, kamu tidak kemana-mana, begitu pun aku dan anak-anak” Ucap Theresa.
Theresa, perempuan itu sudah tidak menangis lagi, air matanya seakan mengering. Ia tersenyum.
 “Terkadang ia menjadi Ali, terkadang ia menjadi Lidya, hal ini terjadi karena ia mengalami trauma yang sangat mendalam akibat ditinggalkan oleh adiknya, Lidya. Ali ingin menghidupkan Lidya kembali dalam kehidupannya. Hal ini mungkin terjadi karena Lidya dan Ali hidup dan berjuang berdua setelah kedua orang tuanya meninggal saat mereka remaja. Ali sudah seperti malaikat penjaganya.
Semenjak Lidya hilang setahun yang lalu ketika Ali bekerja di Jakarta dan keberadaanya kini tak tahu ada di mana. Ali depresi, merasa bersalah, Ali kehilangan tenaga dan habis pikiran untuk mencari Lidya. Hingga suatu hari aku menemukannya berdandan seperti Lidya, memakai lipstick, rok, bahkan memakai bra milikku sambil minum segelas teh oolong kesukaan adiknya, dan berbicara sendiri seolah sedang berbicara berdua dengan Lidya.
Hatiku hancur, aku kehabisan kata, namun setahun ini begitu berat. Tak apa, Ali sudah kembali. Lidya benar-benar pergi, aku harap ia tak lagi kembali. Aku menganggapmu sudah tidak ada.”

Wednesday, March 22, 2017

Romantisme Jakarta

Do not fallin in love with people like me, i will take you to museums , parks, and monuments, and kiss you in every beautiful place” – Caitlyn Shiels


Pernah ada seseorang yang memintaku untuk mendekatkan jarak agar bisa selalu bertemunya kapan pun. Kami dulu pernah saling mengharapkan dan menginginkan, tapi sekarang sudah tidak. Aku terlanjur memberanikan diri untuk terjun tanpa tahu risiko apa yang terjadi jika aku terjatuh, namun aku tetap bertahan disini. Bukan karena dia, dia sudah pergi, tetapi aku tetap bertahan disini untuk diriku sendiri.

Namanya Garwani Indra Prasta. Orang-orang memanggilnya Gani. Mereka sering menyebutkan bahwa Gani adalah seorang yang menyebalkan. Tentu itu benar adanya. Dulu, Gani adalah seorang yang menyenangkan. Kami berdua jarang bertemu, namun setiap kali bertemu, kami selalu menghabiskan waktu dengan cara yang sederhana.

Aku ingat jelas, kami menghabiskan sisa malam di lapangan basket dengan lampu sorot sayup dan kami berdua bermain basket bersama, saling bercerita dan menertawakan masa lalu kami masing-masing atau sekadar berjalan-jalan ke museum, bertukar ilmu mengenai hal yang kita ketahui.

Menunggunya di stasiun, lalu mengantarnya pulang kembali ke kota kami masing-masing atau kebalikannya. Siang hingga menjelang malam, kami hanya berada di stasiun, dia menemaniku hingga kereta malam menepati jadwalnya untuk mengantarkanku pulang.

Bahwa sepuah peluk di stasiun atau di bandara adalah sebuah pesan awal kerinduan. Tak lupa kecupan yang mendarat di kening. Seakan menjadi drama singkat yang bebas dinikmati oleh pengunjung dan petugas setempat. Jarak adalah musuh bagiku dan Gani. Namun, berkat jarak, cinta berpihak.

Suatu Sabtu, beberapa hari setelah aku mendekatkan jarak dengannya, ia memintaku bertemu di Museum Nasional. Aku melihat punggungnya di sana. Aku tahu itu Gani, lalu ia membalikan tubuh tegapnya perlahan tanpa senyuman yang tergambar di wajahnya.

“Gani….”
“Kita gak bisa sama-sama lagi, Ta”
“Maksud kamu?”
“Aku sadar, ternyata selama ini aku gak cinta sama kamu”
“Semudah itu, Gan? Kamu gak mikirin perasaan aku? Aku ini kurang apa? Aku harus gimana biar kamu cinta sama aku?”
“Cinta gak bisa dipaksain, Ta. Kasian kamu kalau harus ngejalanin tanpa cinta”

Rasanya aku ingin mengambil tombak, rencong, atau kujang yang ada di museum ini, lalu menancapkannya di dada pria ini. Tanpa pikir lagi, aku pergi meninggalkannya dengan hati yang sudah kamu tahu seperti apa rasanya diperlakukan seperti aku ini adalah penghuni tunggal ruang hatinya lalu dijatuhkan dengan sejatuh-jatuhnya dengan alasan konyol dan tidak masuk akal.

Katanya, cinta itu memang tak ada logika, tapi tak ada cinta lo gila. Persoalan biasa yang sesungguhnya biasa terjadi pula pada mereka yang setidaknya pernah dimabuk asmara.

Malam beganti pagi dengan hitungan ratusan hari yang tak terhitung. Stasiun Sudirman pukul 5 sore masih terjejal penuh oleh penumpang naik dan turun. Jakarta membuat orang menjadi seorang yang egois, aku senagaja tidak memasuki gerbong khusus wanita, karena aku lelah dan kesempatannya sangat kecil untuk bisa mendapatkan tempat duduk. Setidaknya di gerbong umum, pria akan sedikit mengalah.

Gerbong terlalu padat, untuk bergerak mengambil handphone di dalam tas pun tidak bisa. Mulut ketemu mulut. Pantat ketemu pantat. Saat commuter berhenti di stasiun Tebet, beberapa orang keluar dan seorang pria masuk ke gerbong, tepat berdiri di hadapanku, Gani. Pria ini muncul lagi.

Kami saling menatap, semuanya terasa kaku. Wajahku dan wajahnya hanya berjarak sejengkal jari. Jika commuter ini ngerem mendadak, maka bibirnya bisa mendarat di bibirku. Tak ada kata yang terucap di antara kami, meski kami saling berhadapan dan tidak bisa bergerak apalagi berpindah ke tempat lain. Selintas Gani masih seperti dulu, bahunya masih bidang dan tegap, beserta dengan kumis tipisnya masih menjaga ketampanannya. Oh…tidak. Ini membahayakan dan menyebalkan.

Commuter berhenti di stasiun Duren Kalibata, aku dengan tergesa-gesa turun berharap Gani tak menemukan tubuhku.
“Ananta”
Tubuhku terpaku.
Membeku.
Suara itu.
Jangan membalikan badan, Ta.
Jangan.
“Kamu banyak berubah, rambutmu yang panjang kamu pangkas habis menyerupai rambutku. Ta, I learn from my mistakes and try to become better. But, humans make mistakes and humans can change
“Maksud kamu?” aku masih tak mau membalikkan badan.
“Ta…”
Aku tak tahan. Akhirnya aku membalikkan badan dan melihatnya sudah berada dekat di belakangku.
“Ta…akhirnya Tuhan masih memanjangkan tangan-Nya untuk kita. Aku berbohong padamu. Dulu aku memutuskan hubungan kita dengan alasan aku gak cinta sama kamu itu bohong. Aku cinta kamu, Ta. Tapi saat itu keadaanya berbeda, aku gak lagi seperti dulu”
“……..”
“Ta…aku gak bisa lagi main basket tengah malam sama kamu, aku gak bisa lagi lama-lama menemani kamu di stasiun atau di bandara, dan aku gak bisa lagi menemani kamu museum tour”
“Apa perlu aku tanya kenapa?”

Mataku berlarian, menghindari matanya coklat mudanya. Sebentar, aku melihat bayanganku di pantulan kaca pintu gerbong commuter, namun tidak ada pantulan tubuh Gani. Dalam beberapa detik, commuter melaju. Aku berdiri di tepian peron dan terpaku seakan bibirku tak bergerak. Membeku. Perlahan aku coba menatap Gani. Sialnya, Gani menghilang, tanpa aku melihat punggungnya pergi.
Telepon ku bordering, Alia meneleponku.
“Halo” Sahutku.
“Ta, Gani udah gak ada. Gani kecelakaan”

Wednesday, April 6, 2016

When 'Me' Becomes 'We'



When love feels like magic, you call it destiny. When destiny has a sense of humor, you call it serendipity.” – Serendipity, 2001.



Menikah. Bukan hanya menghalalkan yang tadinya tidak halal. Menikah adalah memulai fase kehidupan yang sangat jauh berbeda dari keseharian seorang lajang, apalagi bagi yang terbiasa hidup bergantung pada orang tua. 

Ada beberapa kebiasaan sehari-hari yang biasa dihadapi seorang perempuan lajang dengan kehidupan yang bebas, tidak bergantung pada orang tua, tidak ada yang memprotes ketika pulang subuh, nongkrong sana-sini, atau trip berhari-hari sampai gak pulang-pulang ke Bandung, berubah drastis ketika ia memutuskan untuk menikah.

Bagiku, menikah adalah menjadi sebuah team work, bukan hanya workshop, papa work mama shop, artinya sebuah tim yang hanya beranggotakan dua orang tersebut harus melengkapi dan membantu tugas satu sama lain. Belajar mandiri dengan melakukan segala hal berdua. 

Apa yang utama dari kehidupan setelah menikah? materi bisa dicari bersama, tapi kesiapan mental itu yang paling utama. Kesiapan perubahan kegiatan sehari-hari setelah menikah, hal-hal kecil yang kadang tidak terpikirkan.

Bangun tidur.
Lajang             : Hari ini kerja pake baju apa ya?
Menikah          : Hari ini masak apa ya? (1)

Gajian.
Lajang             : Asik gajian, PVJ yuk! H&M diskon loh.
Menikah          : Iya. Gajian. Bayar cicilan, listrik, PDAM, belanja bulanan, sembako, apalagi?

Pulang kerja.
Lajang             : Ngopi dulu bisa kali.
Menikah          : Langsung pulang, bikinin minum buat suami, cuci piring, beres-beres, masak apa ya? (2)

Friday night.
Lajang             : Halfway? Chinook? Triangle? Atau Golden Monkey?
Menikah          : Kita malam ini pulang ke rumahmu, besok ke rumahku ya.

Sebelum tidur.
Lajang             : Bolak-balik path – IG – twitter, nonton drama Korea, ketiduran.
Menikah          : Beres-beres, angkat jemuran, nyetrika, besok masak apa ya? (3)

Weekend.
Lajang             : Check in path di resto A-B-C-D, trip to Gili-Bali-blalala, nyalon.
Menikah          : Aku cuci baju, kamu cuci piring. Aku nyapu, kamu ngepel.

Kecoa.
Lajang             : Gebuk pake sapu. Buang.
Menikah          : YAAANGGGG!!! ADA KECOAAAA!!!!

Path.
Lajang             : Upload quote kode buat pacar biar cepet diajak kawin.
Menikah          : Upload foto USG.

Lemari.
Lajang             : 40% baju digantung, 50% baju dilipat, 10% underwear.
Menikah        : 30 % baju istri dilipat, 60% baju suami dilipat & digantung. Baju istri digantung di mana?

Make-up.
Lajang           : Lipstik 10, bedak 3, BB cream 4, eye shadow full color lengkap, blush on warna peach sampe ungu, padahal mukanya Cuma 1.
Menikah          : “Mau ke mana sih? Pake dandan segala” – Suami.

Dapur.
Lajang             : Indomie, telur, kadang ada kornet.
Menikah     : Beras, minyak, gula, garam, merica, tempe, tahu, nugget, spicy wing, bawang-bawangan, sayuran, sampe bumbu gule sapi siap saji.

Hujan.
Lajang             : Makan Indomie sambil nonton DVD bajakan. Bobo siang.
Menikah          : Mensnya udah beres? Masa subur kan, yang?

Apotek.
Lajang             : Mba, ada dulcolax?
Menikah          : Mba, ada test pack?

Tengah malam.
Lajang             : Kebangun, laper, telpon Mekdi.
Menikah          : Yang....yuk!

Menikahlah dengan seseorang yang mau berbagi kulit ayam KFC denganmu, menikahlah dengan seseorang yang tidak membiarkanmu sibuk di dapur sendirian, menikahlah dengan seseorang yang mempersilakanmu untuk tidur terlebih dahulu, dan menikahlah dengan seseorang yang memercayakan ATMnya padamu. 

Dan bersiap-siaplah perubahan besar akan terjadi pada kehidupanmu. Susah disimpan berdua, senang dibagi bersama.

Tuesday, January 26, 2016

Rumah Anita


Untuk Doni,

Bukan kamu yang memaksaku pergi, tetapi aku yang menyerah dengan keadaan. Seakan takdir tidak bisa diubah. Seakan dunia tidak pernah berpihak padaku. Semua tahu, akan ada yang disalahkan ketika pasangan tidak lagi bersama, entah aku, kamu, atau keadaan.

Selama ini aku hanya menjalankan tugasku di dunia sebagai manusia yang hidup dengan moral yang baik, seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, seorang istri yang patuh pada suaminya, seorang ibu yang melahirkan dan merawat anak-anaknya dengan baik, dan tentu sebagai seorang perempuan yang ditakdirkan untuk menerima.

Jika semua tugasku sudah selesai, apa aku bisa meraih atau bahkan menciptakan kebahagiaanku sendiri yang selama puluhan tahun ini aku simpan?

Maya dan Arya kini sudah menikah dan semua tugasku sudah selesai. Maka tidak ada alasan lain untuk aku bertahan di sini. Terima kasih sudah mencintaiku, meski aku percaya bahwa cinta hanyalah mitos.

And there's never a right time to say goodbye.

Anita.

Arya, anak lanang.

Begitu surat yang aku temukan di atas meja makan kemarin sore. Ayah terus mencari ibu, padahal usia ayah sudah menginjak kepala 6 dan kesehatannya tidak lagi seperti dulu. Entah apa isi kepala ibu dengan tega meninggalkan ayah sendirian.

Aku tidak bisa benci pada ibu, tetapi aku membenci keegoisannya. Bolehkah aku membenci bagian dari ibu? meski aku tahu hal ini bisa dibenci pula oleh Tuhan. Ayah tak henti-henti menangis dan melamun, berjalan kaki di sekitar rumah mencari ibu, menanyakan pada tetangga dan orang-orang yang berlalu lalang tentang keberadaan ibu.

Doni, suami Anita.

Anita, perempuan cantik yang aku nikahi 27 tahun lalu kini pergi. Aku ingat waktu pertama kali bertemu dengannya, ia mengenakan rok abu dan kemeja merah jambu, rambutnya diikat ekor kuda, dan sepatu merah marun di kampusku. Saat itu ia sedang studi banding di Fakultas Seni.

Anita, engkau tanpa malu mendekati dan menanyakan siapa namaku, dengan jantung yang berdebar tak karuan aku berkata, “Saya Doni Anggoro, jurusan Manajemen”. Anita pintar, ya, ia pintar mengambil hatiku. Ia banyak mengubahku. Aku yang pendiam dan introvert berubah menjadi sosok yang terbuka dan senang berteman dengan siapa pun, sepertimu....Anita.

Anita, ingkatkah kamu saatku melamarmu? engkau tak langsung menjawab lamaranku, engkau mendiamkanku beberapa hari, akhirnya kau datang ke tempat kost di dekat tempat kerjaku dan menjawab, “tidak, aku tidak bisa menikah denganmu, Mas.”

Anita, usahaku menikahimu ternyata tidak sia-sia. Saat engkau mengatakan tidak, aku semakin mengejarmu. Aku nekat bertemu orang tuamu yang jauh di sebrang pulau Jawa. Gajiku sebagai pegawai Bank yang baru dikontrak selama 1 tahun, hanya cukup untuk bayar kost dan makan sehari-hari, aku tetap ingin melamarmu, meski ku tahu, kau sudah bersama pria lain.

Anita, engkau memang menerima lamaranku dan menikah denganku. Rasanya tak pernah ada masalah. Aku merasa kau mencintaiku juga. Jika pun rumah tangga kita sedang berada dalam masalah, tetapi kita tetap bisa menyelesaikannya. Apa kamu ingat saat aku di PHK karena krisis moneter? Engkau dengan sabarnya memberiku support hingga akhirnya kita berdagang masakan Makassar di dekat pasar dan kini usaha kita ternyata tidak sia-sia.

Anita, ternyata semuanya menjadi sia-sia jika pada akhirnya engkau pergi. Jika aku tahu engkau akan pergi di usia kita yang sama-sama senja dan hanya perlu menghitung hari kapan kita akan mati, maka aku tak perlu mengejarmu hingga ke Makassar saat engkau mengatakan ‘tidak’.

Maya, anak cikal.

Perutku sudah membesar, Bu. Cucu pertama ibu sebentar lagi akan lahir ke dunia, tapi mengapa ibu pergi ketika si jabang bayi ini akan lahir? Apa ibu membenci kami? Apa aku dan Arya belum cukup berbakti pada ibu?

Bu...sesungguhnya kebahagiaan apa yang ibu inginkan? Harta? Bukankah ayah telah memberikan segala apa pun yang ibu inginkan? Soal Arya? Arya kan sudah membuktikan bahwa ia bukan seorang gay seperti apa yang ibu curigai selama bertahun-tahun karena ia tak pernah punya pacar. Ia telah menikah dengan Lika 3 hari lalu.

Aku harus mencari ibu ke mana? Ke Makassar? Apa yang ibu kejar di sana? Aku tak bisa lagi pergi jauh kemana-mana atau kah ibu memang tak ingin dicari?


Anita

Arya....kamu boleh membenci ibumu ini, nak. Semua kekhawatiran ibu terhadapmu sudah terbayarkan. Lika bisa menjagamu lebih baik dari pada ibu.

Maya...Jagalah cucuku, pasti ia akan lebih bahagia ketika melihat eyangnya sudah jauh lebih bahagia dari beberapa puluh tahun sebelumnya. Beri ia nama Himaya.

Doni...suamiku, terima kasih telah menjadikanku seorang istri dan seorang ibu. Jangan bertanya apakah aku mencintaimu atau tidak. Aku di sini baik-baik saja. Aku tidak mau menyusahkanmu lagi.

Anita menulis surat tersebut dengan tangan yang gemetar, penglihatannya sudah kabur, dan sesekali ia menetaskan air mata. Berjalan dengan kaki yang tak lagi bisa berjalan cepat, ia mendatangi kantor pos lalu pergi ke sebuah bangsal, tempat ia akan menghabiskan sisa harinya.

“Apa sudah siap dengan keputusan ibu? Ibu Anita masih punya kesempatan”

“Ya, beri tahu keluargaku ketika jenazahku sudah dipulangkan ke Makassar”


Tuesday, November 10, 2015

Jumat dan Roman Ketiga

"Setidaknya masih ada ruang yang bisa mendengarkan, bukan menjemukan. Mungkin kamu tahu, jatuh sejatuh-jatuhnya bukan aku yang ingin. Hanya membiasakan lagi menjadi kita tidak lagi saling mengenal" - #365dayspagebookchallenge, hari ke-305.


Jumat Kedua 


Senyumnya masih sebatas sapaan hangat atau candaan lepas di saat satu ruang yang berdelapan. Biasanya kami duduk berhadapan yang tersekati, tapi Jumat malam itu, aku duduk bersebalahan dengannya membuatku tak tahu harus bertingkah apa, tanpa sentuhan tentunya. Awalnya memang tiada kata yang terucap dari mulutnya yang nampak terkunci dan membisu.

Obrolan tidak penting menjadi penting. Aku memasang telinga lebar-lebar agar bisa mendengar setiap kata yang diucap. Kami berbicara hal ini dan itu tanpa saling menatap, hanya aku yang menatap. Itu pun hanya dengan sedikit keberanian.   

Tawaan renyah bersama dia menjadi barang langka. Waktu 30 menit menjadi waktu yang sangat singkat seperti sebuah kedipan mata. Tangan kami bersentuhan secara tidak sengaja. Jantungku berdebar seperti remaja yang sedang kasmaran. Aku mulai kecanduan. Ulangi lagi hari Jumat itu, agar setiap hari menjadi seperti Jumat malam itu.

Aku tak peduli dengan keadaanya, jika tidak ada yang mau atau tidak bisa disalahkan, mungkin aku bisa menyalahkan keadaan. Aku mengantar Nanda pulang, kebetulan hari itu hujan deras dan kebetulan arah pulang aku dengannya searah. Nanda turun dari mobilku dan melambaikan tangannya ke arah pintu yang disambut oleh seorang anak perempuan berusia 10 tahun di depan rumahnya yang tak lain adalah anak tunggal Nanda.

Jumat Pertama

Farewell party manager di kantorku terbilang sudah kelewatan. Mr. Ryu akan kembali ke Jepang dan ia menggiring semua karyawannya untuk berpesta. Jujur saja, aku bukan benci alkohol, aku hanya menghindarinya. Namun, teman sekantor mencekokiku dengan minuman yang tidak aku mengerti apa mereknya, yang pasti membuatku mabuk hingga semuanya terasa menegang. Mereka tahu aku bukan peminum. 

Perempuan itu, berambut ikal panjang, dan mataku tertuju padanya. Aku terduduk lalu ia menghampiriku. Tubuhnya membayang jadi dua, namun senyum dan dua lubang di pipinya ketika tersenyum masih terlihat. Ia menghampiriku dengan dan memapahku yang tak lagi sadar. Entah bagaimana tubuhku yang tinggi kurus bisa yang giring ke dalam mobil.

Kulit kami saling bersentuhan tanpa rasa malu Nanda menciumku perlahan. Alkohol memang membuat siapa pun lupa akan siapa dirinya. Aku mabuk. Apa Nanda pun mabuk? Aku tak tahu pasti. Sentuhan dan belaian hangatnya saja yang bisa aku rasa, hingga kau tahu pasti apa yang aku lakukan dengan Nanda. 

Jumat Ketiga

Awalnya tak pernah ada rasa sedikit dengan ibu beranak 1 itu. Aku hanya seorang bujang 34 tahun yang takut untuk mendekati perempuan. Aku ini bukan lelaki introvert, aku tegaskan lagi, aku hanya tidak bisa mendekati perempuan. Kami masih duduk berhadapan yang terhalangi oleh sekat kaca transparan. Tentu wajahnya selalu muncul di hadapanku. Konsentrasi bekerjaku mulai menurun. 

Seakan tak pernah ia sadari apa yang pernah ia lakukan di Jumat pertama. Sentuhannya masih terasa dan terbayang tak tahu waktu. Bibir tipisnya seakan mengajakku untuk berbicara dan mendaratkannya di sana. Tidak, sebaiknya aku harus pindah meja kerja. Setidaknya rambut ikal panjangnya tak melambaikanku untuk menggodanya. 

Sementara itu, aku pindahkan laptopku ke meja Alisha yang sedang business trip dalam jangka waktu panjang. Setidaknya aku memunggungi Nanda. Aku tak tahan.

Jumat sore ini hujan lagi. Aku berjanji bertemu teman kampus yang sudah lama tidak bertemu di restoran Mexico daerah Panglima Polim. Aku tiba terlebih dahulu. Seperti biasa, Andri selalu datang terlambat. 

“Sudah tiga batang nih, bos?” Andri menghampiriku.
“Wah....kebiasan lo nih, Ndri, ngaretnya kadang kurang ajar” kami saling berpelukan tapi bukan a la bromance.
 Kami tertawa sebentar.
“Sama siapa Den? Masih sendiri aja nih?” Tanya Andri
“Ya seperti biasa still stay alone but not lonely”.
“Mau gue kenalin gak sama temen-temen kantor baru istri gue? Cantik-cantik loh, kebetulan gue ajak dia kesini”
“Mana bini lo? Percuma cantik kalau udah jadi bini orang mah, Ndri. Seumur gue mana ada perempuan yang masih lajang”
“Lagi di toilet dia. Tenang, istri gue jagonya nyomblangin orang. Nah, ini dia orangnya datang. Sayang, kenalin ini Deni temen sekelasku dulu jaman kuliah waktu di Surabaya.”
“Deni”
“Nanda”