Tuesday, September 15, 2015

Biru di Ujung Pena


Langun - Jika langun adalah sebuah kesenangan dan keindangan, maka jangan sungkan memanggilku Langun. Langun adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kesenangan dan dari bahasa Jawa ‘langen’ yang artinya keindahan. Aku yakin benar dengan Langun” surat terakhir dari Jena bulan Mei 2010.

Semuanya terlihat seperti roda memori yang berputar begitu lambat. Aku masih belum bisa melupakan Jena. Foto-foto dan tulisan tangannya masih ku simpan dengan apik. What i like about photograph is that they capture a moment that’s gone. Aku takut aku lupa dengan Jena.

Kamu ingat sahabat pena? Mereka pelaku yang berjuang untuk menjaga pertemanan dengan benturan jarak pada masanya. Sahabat pena pun ikut andil dalam membantu menafkahi pekerja pos. Amplop, kartu pos, surat, dan perangko adalah teman baik yang seakan terlupakan karena waktu. Bukan tak mau menerima teknologi, tetapi seni surat menyurat akan menjadi saksi cerita hidup yang akan membentuk legenda di masa yang entah kapan akan ada akhirnya.

Kami bertukar cerita melalui kata-kata yang absurd. Bertukar kata tanpa batas. Walau hanya dalam satu paragraf kata yang mungkin menurutmu adalah hal aneh dan membuang waktu. Bagiku, Jena dan suratnya adalah ujung jemariku yang membuatku semangat untuk menulis dan membalas suratnya, agar Jena tak berhenti menyuratiku.  

Surat pertamanya berawal dari acara radio di tahun 90-an. Program tersebut memberikan peluang bagi pendengarnya untuk melakukan pertemanan dengan cara bersahabat melalui pena. Pendengar saling bertukar alamat dengan cara mengirimkan alamatnya untuk disiarkan di radio.
Surat pertama Jena sampai di rumahku tahun 1998.

Jena, 1998, Temukan Dunia.
Karena kepuasan manusia tidak akan ada batasannya, begitu pun ujung lautan yang nihil ku temukan. Jika kamu tetap ingin menemukan ujung dunia, maka temukan ujungnya hingga tidak menepi. Ketika kamu menemukan persimpangan maka hidup memang seperti itu. 
Sepertinya Jena bukan orang biasa. Aku tak mengerti apa maksudnya. Aku pikir surat ini ditulis dengan standar menanyakan tanggal lahir, tempat sekolahku dimana, hobiku, atau yang lainnya. Aku jawab dengan hati-hati. Aku sungguh penasaran. Aku berusaha mengikuti gaya penulisan Jena, agar Jena balas penasaran denganku.

Rendra, 1998, Ruang dan Jarak
Karena selebihnya tak ada yang menandingi bagaimana Tuhan bekerja. Tak ada yang sanggup menjelaskan bagaimana sebuah ruang dan jarak tercipta. Mengenalmu adalah bagian cerita kecil hidupku yang tak pernah terkira.

Jena, 1999, Jendela
Ketika jendela rumah tertutup maka kebaikan dan kehangatan akan segera menepi menjauh. Buka sedikit demi sedikit jendela rumahmu, terutama jendela hatimu. Bukan kah keterbukaan memiliki kesempatan untuk merambat di ruangmu? Terutama hatimu, Ren.
Rendra, 1999, Kembali Soal Jarak
Celah di antaranya seperti hanya berjarak tak lebih dari sejengkalan jari. Seperti terhimpit dan mendekatkan jarak satu sama lain.



Jena, 1999, Perjalanan
Sebaik-baiknya perjalanan adalah ketika kamu menikmatinya. Entah itu akan pulang atau pergi. Sesuatu yang indah bisa dinikmati dengan sesederhana perasaan tanpa keluh kesah. Semua perjalanan akan baik-baik saja, karena baik atau buruknya Tuhan sudah atur. Doa yang jadi pendampingku.

Pertama kalinya Jena mengirimkan sebuah foto berbentuk polaroid, foto tersebut menggambarkan sebuah perahu di atas sungai yang mungkin berada di daerah terpencil. Sepertinya bukan di pulau Jawa, mungkin Sumatera, Kalimanta, Sulawesi, atau bahkan papua. Aku tak tahu.

Rendra, 1999, Seruak
Jika dalamnya sungai menyeruak tanpa tahu dalamnya, maka seperti itu pun aku ke padamu. Hati orang siapa yang tahu. Maka jika sedikit pun, aku perlu mengetahui.

Aku sudah mengira. Jena mungkin sudah pergi jauh dari rumahnya. Selama 2 tahun suratku tidak dibalasnya. Mungkin ia pergi dan hidupku masih berjalan apa adanya. Aku baru saja lulus dari kuliahku di jurusan Ilmu Komunikasi. Aku berpindah ke Jakarta untuk bekerja. Aku masih penasaran dengan kabar Jena. Maka, aku tetap menulis surat padanya.

Rendra, 2001, Kopi dan Getir
Kenikmatan teh aku simpan dulu untuk beberapa hari ini. Terlalu sibuk bekerja mungkin. Hari-hari yang sibuk rasanya kopi lebih baik untuk menemani, teh menemaniku saat hariku terasa lebih ringan. Maksudku, ketika suasana hati sedang getir. Seakan kopi lekat dengan kegetiran.
Jena, 2001, Kopi dan Filosofinya yang Macam-Macam
Kadang dua cangkir kopi saja tidak cukup untuk menelusuri harimu. Perlu berbagai rasa untuk mencicipi betapa nikmatnya dunia ini. Pada dasarnya, kopi sederhana dan sebegitu apa adanya. Biar lidah dan hati yang tentukan. Memilih kopi pun tidak bisa dipaksa, sama seperti memilih hati dan masa depanmu.
Jen, ternyata kamu masih berada di Jogja. Setiap kali pulang ke Jogja, aku menunggu suratmu. Apa mungkin kita bisa bertemu?

Rendra, 2001, Temu
Jika sebuah temu maka akan menjadi candu, apakah temu adalah akar sebuah rindu? Jika setuju, temui aku pukul 1 siang tanggal 8 September 2001 di Benteng Vredeburg.

Sedari pukul 1 siang hingga sore menjelang dan hingga petugas benteng memberi kode agar aku cepat meninggalkan benteng yang tutup sebelum adzan magrib, Jena tidak datang. Tunggu....aku kan tidak tahu Jena seperti apa. Ciri-ciri fisiknya pun aku tak tahu, begitu pun dia. Ah...kadang tindakan bodoh membutakan rasa penasaran. Mungkin, Jena pun datang dan mencariku dengan kesal. Bodohnya aku ini. Aku malu.

Jena, 2002, Balasan Sebuah Frekuensi Pertemuan
Frekuensi sebuah pertemuan yang sebentar biasanya akan lebih melekat. Seakan tidak ada waktu untuk membicarakan hal buruk. Bagaimana dengan kita? Pertemuan pun berada di titik yang tidak pernah kita ketahui. Biar takdir yang melekatkannya. 


Sepertinya, Jena memang tidak datang pada saat itu. Aku lega. Aku ingin mengirimkan sebuah potret di Stasiun Jakarta Kota pada Jena. Agar ia tahu, aku berada dimana saat ini.

Rendra, 2003, Ayo Tebak, Apa Persamaan Stasiun dan Hati?
Jen, potret sebuah stasiun ini katanya sama seperti hati, mereka sama-sama kadang kosong kadang hampa, tetapi kadang berlalu lalang banyak yang datang tapi tak ada yang tinggal. Buatlah hatimu seperti rumah yang akan tetap menjadi tempat sebuah pulang dan selalu dirindukan.



Empat tahun berlalu begitu seperti sebuah lagu yang mengalun. Ingatanku soal Jena seperti terkubur dalam sebuah dasar lubang yang menutup dan harus terkubur. Pada akhirnya, aku menikah dengan teman kampusku. Apa kabar Jena, apa ia sudah menikah? Entahlah...sejak dulu aku tak pernah tahu berapa usianya, nama lengkapnya, rupanya seperti apa, dan yang aku tahu hanya alamat rumahnya.

Jena, 2007, Us
Apa yang kita telusuri kadang mereka tak perlu tahu, karena semua tidak selalu tentang aku dan kamu. We are not too important. Everything is not always about us. Sudah ku bilang, dunia akan baik-baik saja jika ada atau pun tanpa kita. Keberadaan kita tidak sepenting itu. Selami hari kita masing-masing, maka dunia pun tidak akan berubah.


Tahukah apa yang terjadi? Surat tersebut diterima oleh istriku yang saat itu sedang menginap di rumah ibuku. Kami bertengkar hebat. Jena tidak salah, semuanya karena Jena tidak tahu. Istriku mengira aku menduakannya. Pada akhirnya, aku memperlihatkan semua surat-surat dari Jena. Aku menceritakan kisah sebentarku yang tidak nyata dengan Jena. Asti akhirnya mengerti, ia menganggapnya sebuah kekonyolan belaka. Menganggap Jena adalah orang iseng yang kesepian.

Rendra, 2008, Penerimaan.
Biar tanya yang jawab atas sebuah penerimaan. Layaknya laki-laki terhadap perempuannya atau kebalikannya. Maka sebuah penerimaan bukanlah menjadi hal yang saling memberatkan. Ketahuilah karena ‘saling’ adalah kata kunci sebuah penerimaan. Bukan hanya kamu saja begitu pun dengan hanya aku saja.
Jena seperti hantu, Jena seperti makhluk virtual, dan Jena seperti teman atau bahkan kekasih khayalan. Aku selalu membayangkan rupa Jena. Mungkin ia seorang gadis, berkulit kecoklatan, berparas ayu, berambut kepang panjang, dan memakai rok selutut. Perasaan ini lain, setiap kali membaca suratnya, jantungku berdegup tak karuan. Diam-diam aku mengirimi suratnya lagi. Berharap Jena membalasnya, asalkan bukan Asti yang membaca balasannya.

Jena, 2008, Langkah
Hati-hati melangkah sama-sama, karena melangkah bersama kaki kiri dan kanan pun pasti berbeda. Jika kita akan melangkah bersama, yakinlah kakimu tak akan melangkah mendahului kakiku atau kamu berjalan lambat hingga langkahmu tertinggal jauh dariku. Berjalan beriringan bukan hal mudah, sayang. Begitu pula dengan meninggalkan atau ditinggalkan, bukan hanya pilihanmu, tapi pilihanku juga.

Apa maksudmu Jen? Kamu akan meninggalkanku dan berhenti menyuratiku? Meski aku hanya menerima kabar darimu setahun sekali, bagiku kau itu lebih dari langkahku, sudah ku bilang, kau ini jemariku.

Rendra, 2008, Bersandar
Memang, di bahu kananku ada dunianya yang ku simpan disini. Bukan maksud membebani diriku sendiri, tetapi bahu kiri ku masih ku sediakan untukmu. Berbagi dunia denganmu adalah maksud Tuhan. Semua berjalan apa adanya, meski tanpa terucap, tanpa pertemuan, anggaplah semuanya adalah sebuah tanda. Karena semua pertemuan pada akhirnya akan bermuara.

  
Langun adalah surat terakhirnya, aku tak tahu apa maksudnya. Sudahlah, Jena memang tidak nyata. Anggaplah orang iseng yang hanya mempermainkan kata-kata sebagai mainannya.

Keluarga kecilku tumbuh di kota metropolitan. Buah cintaku dan Asti kini telah memasuki usia sekolah. Ia anak perempuan yang sangat cerewet dan suka sekali berbicara, sama seperti ibunya. Di hari pertamanya masuk sekolah dasar, aku rela izin tak masuk kantor agar tak melawatkan moment penting bersamanya. Aku mengantarnya sekolah dan menjemputnya, sementara Asti? Ia berada di luar kota yang mengharuskannya bekerja di hari pertama anaknya masuk sekolah.

“Ayaaaahhh!” Seruni dan beserta teman-temannya berhamburan keluar kelas. Ia datang padaku bersama teman barunya. Runi berlari menggandengnya.
“Halo cantiknya ayah, gimana sekolah pertamamu? Seru?”
“Seru yah! Disini Runi temennya banyak, ini temenku yah. Mamanya gak bisa jemput, pulang bareng kita aja ya. Boleh?”
“Boleh sayang, halo siapa namamu nak?”
“Langun, Om!”

Jena. Hari ini akhirnya tiba.