Wednesday, April 6, 2016

When 'Me' Becomes 'We'



When love feels like magic, you call it destiny. When destiny has a sense of humor, you call it serendipity.” – Serendipity, 2001.



Menikah. Bukan hanya menghalalkan yang tadinya tidak halal. Menikah adalah memulai fase kehidupan yang sangat jauh berbeda dari keseharian seorang lajang, apalagi bagi yang terbiasa hidup bergantung pada orang tua. 

Ada beberapa kebiasaan sehari-hari yang biasa dihadapi seorang perempuan lajang dengan kehidupan yang bebas, tidak bergantung pada orang tua, tidak ada yang memprotes ketika pulang subuh, nongkrong sana-sini, atau trip berhari-hari sampai gak pulang-pulang ke Bandung, berubah drastis ketika ia memutuskan untuk menikah.

Bagiku, menikah adalah menjadi sebuah team work, bukan hanya workshop, papa work mama shop, artinya sebuah tim yang hanya beranggotakan dua orang tersebut harus melengkapi dan membantu tugas satu sama lain. Belajar mandiri dengan melakukan segala hal berdua. 

Apa yang utama dari kehidupan setelah menikah? materi bisa dicari bersama, tapi kesiapan mental itu yang paling utama. Kesiapan perubahan kegiatan sehari-hari setelah menikah, hal-hal kecil yang kadang tidak terpikirkan.

Bangun tidur.
Lajang             : Hari ini kerja pake baju apa ya?
Menikah          : Hari ini masak apa ya? (1)

Gajian.
Lajang             : Asik gajian, PVJ yuk! H&M diskon loh.
Menikah          : Iya. Gajian. Bayar cicilan, listrik, PDAM, belanja bulanan, sembako, apalagi?

Pulang kerja.
Lajang             : Ngopi dulu bisa kali.
Menikah          : Langsung pulang, bikinin minum buat suami, cuci piring, beres-beres, masak apa ya? (2)

Friday night.
Lajang             : Halfway? Chinook? Triangle? Atau Golden Monkey?
Menikah          : Kita malam ini pulang ke rumahmu, besok ke rumahku ya.

Sebelum tidur.
Lajang             : Bolak-balik path – IG – twitter, nonton drama Korea, ketiduran.
Menikah          : Beres-beres, angkat jemuran, nyetrika, besok masak apa ya? (3)

Weekend.
Lajang             : Check in path di resto A-B-C-D, trip to Gili-Bali-blalala, nyalon.
Menikah          : Aku cuci baju, kamu cuci piring. Aku nyapu, kamu ngepel.

Kecoa.
Lajang             : Gebuk pake sapu. Buang.
Menikah          : YAAANGGGG!!! ADA KECOAAAA!!!!

Path.
Lajang             : Upload quote kode buat pacar biar cepet diajak kawin.
Menikah          : Upload foto USG.

Lemari.
Lajang             : 40% baju digantung, 50% baju dilipat, 10% underwear.
Menikah        : 30 % baju istri dilipat, 60% baju suami dilipat & digantung. Baju istri digantung di mana?

Make-up.
Lajang           : Lipstik 10, bedak 3, BB cream 4, eye shadow full color lengkap, blush on warna peach sampe ungu, padahal mukanya Cuma 1.
Menikah          : “Mau ke mana sih? Pake dandan segala” – Suami.

Dapur.
Lajang             : Indomie, telur, kadang ada kornet.
Menikah     : Beras, minyak, gula, garam, merica, tempe, tahu, nugget, spicy wing, bawang-bawangan, sayuran, sampe bumbu gule sapi siap saji.

Hujan.
Lajang             : Makan Indomie sambil nonton DVD bajakan. Bobo siang.
Menikah          : Mensnya udah beres? Masa subur kan, yang?

Apotek.
Lajang             : Mba, ada dulcolax?
Menikah          : Mba, ada test pack?

Tengah malam.
Lajang             : Kebangun, laper, telpon Mekdi.
Menikah          : Yang....yuk!

Menikahlah dengan seseorang yang mau berbagi kulit ayam KFC denganmu, menikahlah dengan seseorang yang tidak membiarkanmu sibuk di dapur sendirian, menikahlah dengan seseorang yang mempersilakanmu untuk tidur terlebih dahulu, dan menikahlah dengan seseorang yang memercayakan ATMnya padamu. 

Dan bersiap-siaplah perubahan besar akan terjadi pada kehidupanmu. Susah disimpan berdua, senang dibagi bersama.

Tuesday, January 26, 2016

Rumah Anita


Untuk Doni,

Bukan kamu yang memaksaku pergi, tetapi aku yang menyerah dengan keadaan. Seakan takdir tidak bisa diubah. Seakan dunia tidak pernah berpihak padaku. Semua tahu, akan ada yang disalahkan ketika pasangan tidak lagi bersama, entah aku, kamu, atau keadaan.

Selama ini aku hanya menjalankan tugasku di dunia sebagai manusia yang hidup dengan moral yang baik, seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, seorang istri yang patuh pada suaminya, seorang ibu yang melahirkan dan merawat anak-anaknya dengan baik, dan tentu sebagai seorang perempuan yang ditakdirkan untuk menerima.

Jika semua tugasku sudah selesai, apa aku bisa meraih atau bahkan menciptakan kebahagiaanku sendiri yang selama puluhan tahun ini aku simpan?

Maya dan Arya kini sudah menikah dan semua tugasku sudah selesai. Maka tidak ada alasan lain untuk aku bertahan di sini. Terima kasih sudah mencintaiku, meski aku percaya bahwa cinta hanyalah mitos.

And there's never a right time to say goodbye.

Anita.

Arya, anak lanang.

Begitu surat yang aku temukan di atas meja makan kemarin sore. Ayah terus mencari ibu, padahal usia ayah sudah menginjak kepala 6 dan kesehatannya tidak lagi seperti dulu. Entah apa isi kepala ibu dengan tega meninggalkan ayah sendirian.

Aku tidak bisa benci pada ibu, tetapi aku membenci keegoisannya. Bolehkah aku membenci bagian dari ibu? meski aku tahu hal ini bisa dibenci pula oleh Tuhan. Ayah tak henti-henti menangis dan melamun, berjalan kaki di sekitar rumah mencari ibu, menanyakan pada tetangga dan orang-orang yang berlalu lalang tentang keberadaan ibu.

Doni, suami Anita.

Anita, perempuan cantik yang aku nikahi 27 tahun lalu kini pergi. Aku ingat waktu pertama kali bertemu dengannya, ia mengenakan rok abu dan kemeja merah jambu, rambutnya diikat ekor kuda, dan sepatu merah marun di kampusku. Saat itu ia sedang studi banding di Fakultas Seni.

Anita, engkau tanpa malu mendekati dan menanyakan siapa namaku, dengan jantung yang berdebar tak karuan aku berkata, “Saya Doni Anggoro, jurusan Manajemen”. Anita pintar, ya, ia pintar mengambil hatiku. Ia banyak mengubahku. Aku yang pendiam dan introvert berubah menjadi sosok yang terbuka dan senang berteman dengan siapa pun, sepertimu....Anita.

Anita, ingkatkah kamu saatku melamarmu? engkau tak langsung menjawab lamaranku, engkau mendiamkanku beberapa hari, akhirnya kau datang ke tempat kost di dekat tempat kerjaku dan menjawab, “tidak, aku tidak bisa menikah denganmu, Mas.”

Anita, usahaku menikahimu ternyata tidak sia-sia. Saat engkau mengatakan tidak, aku semakin mengejarmu. Aku nekat bertemu orang tuamu yang jauh di sebrang pulau Jawa. Gajiku sebagai pegawai Bank yang baru dikontrak selama 1 tahun, hanya cukup untuk bayar kost dan makan sehari-hari, aku tetap ingin melamarmu, meski ku tahu, kau sudah bersama pria lain.

Anita, engkau memang menerima lamaranku dan menikah denganku. Rasanya tak pernah ada masalah. Aku merasa kau mencintaiku juga. Jika pun rumah tangga kita sedang berada dalam masalah, tetapi kita tetap bisa menyelesaikannya. Apa kamu ingat saat aku di PHK karena krisis moneter? Engkau dengan sabarnya memberiku support hingga akhirnya kita berdagang masakan Makassar di dekat pasar dan kini usaha kita ternyata tidak sia-sia.

Anita, ternyata semuanya menjadi sia-sia jika pada akhirnya engkau pergi. Jika aku tahu engkau akan pergi di usia kita yang sama-sama senja dan hanya perlu menghitung hari kapan kita akan mati, maka aku tak perlu mengejarmu hingga ke Makassar saat engkau mengatakan ‘tidak’.

Maya, anak cikal.

Perutku sudah membesar, Bu. Cucu pertama ibu sebentar lagi akan lahir ke dunia, tapi mengapa ibu pergi ketika si jabang bayi ini akan lahir? Apa ibu membenci kami? Apa aku dan Arya belum cukup berbakti pada ibu?

Bu...sesungguhnya kebahagiaan apa yang ibu inginkan? Harta? Bukankah ayah telah memberikan segala apa pun yang ibu inginkan? Soal Arya? Arya kan sudah membuktikan bahwa ia bukan seorang gay seperti apa yang ibu curigai selama bertahun-tahun karena ia tak pernah punya pacar. Ia telah menikah dengan Lika 3 hari lalu.

Aku harus mencari ibu ke mana? Ke Makassar? Apa yang ibu kejar di sana? Aku tak bisa lagi pergi jauh kemana-mana atau kah ibu memang tak ingin dicari?


Anita

Arya....kamu boleh membenci ibumu ini, nak. Semua kekhawatiran ibu terhadapmu sudah terbayarkan. Lika bisa menjagamu lebih baik dari pada ibu.

Maya...Jagalah cucuku, pasti ia akan lebih bahagia ketika melihat eyangnya sudah jauh lebih bahagia dari beberapa puluh tahun sebelumnya. Beri ia nama Himaya.

Doni...suamiku, terima kasih telah menjadikanku seorang istri dan seorang ibu. Jangan bertanya apakah aku mencintaimu atau tidak. Aku di sini baik-baik saja. Aku tidak mau menyusahkanmu lagi.

Anita menulis surat tersebut dengan tangan yang gemetar, penglihatannya sudah kabur, dan sesekali ia menetaskan air mata. Berjalan dengan kaki yang tak lagi bisa berjalan cepat, ia mendatangi kantor pos lalu pergi ke sebuah bangsal, tempat ia akan menghabiskan sisa harinya.

“Apa sudah siap dengan keputusan ibu? Ibu Anita masih punya kesempatan”

“Ya, beri tahu keluargaku ketika jenazahku sudah dipulangkan ke Makassar”