Perasaan aneh itu muncul lagi. Begitu kalut. Entah apa yang
dirancakan Tuhan di dalam otakku. Mengapa aku sering kalut? bukan hanya mudah
jatuh cinta tapi mudah jatuh kalut. Terkadang dengan hanya memikirkan masalah
orang lain pun aku bisa jatuh kalut atau dengan menonton acara televisi ‘orang
pinggiran’ yang menceritakan tentang orang-orang yang jauh dari beruntung, aku
bisa kalut hingga meneteskan air mata. Sepertinya berlebihan tapi aku
benar-benar memikirkan mereka yang berada di bawah naungan masalah besar. Aku
menganggapnya sebagai cara bersyukur, bahwa hidupku yang sulit nampaknya tak
sesulit hidup mereka.
Kalut kali ini lain. Pernah terjadi saat aku ingin
menghilang, pergi sendirian dan mematikan ponselku seharian juga tak ingin
berkomunikasi dengan siapapun. Tiba-tiba saja malam ini aku ingat dosa-dosa
yang telah aku perbuat. Aku tak menghitungnya karena tak akan cukup dalam
hitungan cari. Mulai dari lalai menempati solat 5 waktu hingga mengumpat teman.
Mungkin jika umat lain dengan pengakuan dosa bisa menghapus
dosa-dosanya. Bagiku dan umat sesamaku hanyalah bertaubat pada Allah dan tidak
mengulanginya lagi. Meski tak menghapuskan semua dosa, setidaknya beban masuk
neraka nanti akan dikurangi.
Pola hidupku mulai kacau. Cita-cita yang pasti sudah mulai
meruntuh. Ambisi telah memudar juga harapan-harapan kecil sudah menipis.
Rasanya semangatku sudah mulai meluntur dan aku sadar itu. Tak ada gairah yang
bisa membangkitkan itu. Mewujudkannya terasa sulit bangkit. Jatuh kalut
membuatku merasa tersisihkan dari calon-calon manusia bergelimang materi, pintar
dan mudah menggapai apapun yang diinginkan. Ibu pernah bilang bahwa aku
terlahir dengan tidak selalu cepat mendapatkan sesuatu yang aku inginkan dan
aku ditakdirkan untuk selalu berusaha dan kerja keras. Aku tahu betul apa maksud
Ibu. Terkadang aku termenung tertunduk, mengapa aku tak seberuntung mereka? Teman-temanku
yang dengan mudah bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, fashion yang branded
dengan harga melangit, gadget terbaru dengan teknologi yang semakin canggih. Pernah
terlintas, mengapa aku tak seperti mereka? Mengapa aku tak bisa seperti mereka?
Jawabannya, berhentilah bertanya mengapa. Itu lebih baik.
Perkataan ibu adalah doa. Aku menceritakan bagaimana teman-temanku
dengan gaya hidup mewah, hampir setiap hari makan di café mahal, mengendarai mobil
yang layak dan mahal juga bergonta-ganti pakaian, sepatu hingga tas setiap bertemu
dengan brand yang mahal pula. Ibu hanya tersenyum dan mengusap punggungku, lalu
ia berkata “sabar, mungkin keberuntunganmu akan dibawa oleh suamimu nanti” dan percaya
atau tidak, itu sangat menenangkan. Sungguh. Setelah itu, ibu selalu menyuruhku
untuk menonton acara ‘orang pinggiran’. Benar saja, dengan menonton acara tersebut
membuatmu lebih bersyukur. Jika hidupmu selalu melihat ke atas, niscaya hidupmu
tak kan bahagia.
Adakah kekalutan yang bisa membuat bahagia? Ada, boleh kalut kemudian
bersyukurlah pada Tuhan.
Minggu,
12 Mei 2013
01:57