Tuesday, November 10, 2015

Jumat dan Roman Ketiga

"Setidaknya masih ada ruang yang bisa mendengarkan, bukan menjemukan. Mungkin kamu tahu, jatuh sejatuh-jatuhnya bukan aku yang ingin. Hanya membiasakan lagi menjadi kita tidak lagi saling mengenal" - #365dayspagebookchallenge, hari ke-305.


Jumat Kedua 


Senyumnya masih sebatas sapaan hangat atau candaan lepas di saat satu ruang yang berdelapan. Biasanya kami duduk berhadapan yang tersekati, tapi Jumat malam itu, aku duduk bersebalahan dengannya membuatku tak tahu harus bertingkah apa, tanpa sentuhan tentunya. Awalnya memang tiada kata yang terucap dari mulutnya yang nampak terkunci dan membisu.

Obrolan tidak penting menjadi penting. Aku memasang telinga lebar-lebar agar bisa mendengar setiap kata yang diucap. Kami berbicara hal ini dan itu tanpa saling menatap, hanya aku yang menatap. Itu pun hanya dengan sedikit keberanian.   

Tawaan renyah bersama dia menjadi barang langka. Waktu 30 menit menjadi waktu yang sangat singkat seperti sebuah kedipan mata. Tangan kami bersentuhan secara tidak sengaja. Jantungku berdebar seperti remaja yang sedang kasmaran. Aku mulai kecanduan. Ulangi lagi hari Jumat itu, agar setiap hari menjadi seperti Jumat malam itu.

Aku tak peduli dengan keadaanya, jika tidak ada yang mau atau tidak bisa disalahkan, mungkin aku bisa menyalahkan keadaan. Aku mengantar Nanda pulang, kebetulan hari itu hujan deras dan kebetulan arah pulang aku dengannya searah. Nanda turun dari mobilku dan melambaikan tangannya ke arah pintu yang disambut oleh seorang anak perempuan berusia 10 tahun di depan rumahnya yang tak lain adalah anak tunggal Nanda.

Jumat Pertama

Farewell party manager di kantorku terbilang sudah kelewatan. Mr. Ryu akan kembali ke Jepang dan ia menggiring semua karyawannya untuk berpesta. Jujur saja, aku bukan benci alkohol, aku hanya menghindarinya. Namun, teman sekantor mencekokiku dengan minuman yang tidak aku mengerti apa mereknya, yang pasti membuatku mabuk hingga semuanya terasa menegang. Mereka tahu aku bukan peminum. 

Perempuan itu, berambut ikal panjang, dan mataku tertuju padanya. Aku terduduk lalu ia menghampiriku. Tubuhnya membayang jadi dua, namun senyum dan dua lubang di pipinya ketika tersenyum masih terlihat. Ia menghampiriku dengan dan memapahku yang tak lagi sadar. Entah bagaimana tubuhku yang tinggi kurus bisa yang giring ke dalam mobil.

Kulit kami saling bersentuhan tanpa rasa malu Nanda menciumku perlahan. Alkohol memang membuat siapa pun lupa akan siapa dirinya. Aku mabuk. Apa Nanda pun mabuk? Aku tak tahu pasti. Sentuhan dan belaian hangatnya saja yang bisa aku rasa, hingga kau tahu pasti apa yang aku lakukan dengan Nanda. 

Jumat Ketiga

Awalnya tak pernah ada rasa sedikit dengan ibu beranak 1 itu. Aku hanya seorang bujang 34 tahun yang takut untuk mendekati perempuan. Aku ini bukan lelaki introvert, aku tegaskan lagi, aku hanya tidak bisa mendekati perempuan. Kami masih duduk berhadapan yang terhalangi oleh sekat kaca transparan. Tentu wajahnya selalu muncul di hadapanku. Konsentrasi bekerjaku mulai menurun. 

Seakan tak pernah ia sadari apa yang pernah ia lakukan di Jumat pertama. Sentuhannya masih terasa dan terbayang tak tahu waktu. Bibir tipisnya seakan mengajakku untuk berbicara dan mendaratkannya di sana. Tidak, sebaiknya aku harus pindah meja kerja. Setidaknya rambut ikal panjangnya tak melambaikanku untuk menggodanya. 

Sementara itu, aku pindahkan laptopku ke meja Alisha yang sedang business trip dalam jangka waktu panjang. Setidaknya aku memunggungi Nanda. Aku tak tahan.

Jumat sore ini hujan lagi. Aku berjanji bertemu teman kampus yang sudah lama tidak bertemu di restoran Mexico daerah Panglima Polim. Aku tiba terlebih dahulu. Seperti biasa, Andri selalu datang terlambat. 

“Sudah tiga batang nih, bos?” Andri menghampiriku.
“Wah....kebiasan lo nih, Ndri, ngaretnya kadang kurang ajar” kami saling berpelukan tapi bukan a la bromance.
 Kami tertawa sebentar.
“Sama siapa Den? Masih sendiri aja nih?” Tanya Andri
“Ya seperti biasa still stay alone but not lonely”.
“Mau gue kenalin gak sama temen-temen kantor baru istri gue? Cantik-cantik loh, kebetulan gue ajak dia kesini”
“Mana bini lo? Percuma cantik kalau udah jadi bini orang mah, Ndri. Seumur gue mana ada perempuan yang masih lajang”
“Lagi di toilet dia. Tenang, istri gue jagonya nyomblangin orang. Nah, ini dia orangnya datang. Sayang, kenalin ini Deni temen sekelasku dulu jaman kuliah waktu di Surabaya.”
“Deni”
“Nanda”






Sunday, November 8, 2015

Tabebuia

Wish i could turn you back into a stranger
Cause if I was never in your life
You wouldn't have to change this
But I know that I'll be happier
And I know you will too
- Tame Impala, Eventually.




Menyesap sebatang tembakau yang tak habis-habis. Hisap sebentar, lalu ku biarkan angin yang menghabiskannya. Semua orang suka senja, aku suka sore. Pukul 4 adalah milikku. Melihat Tabebuia yang tumbuh dengan perlahan membuatku merasa dunia pernah berpihak padaku.

Reza tak pernah datang hingga hari ini, padahal Tabebuia miliknya sudah ku rawat dengan sebaik-baiknya. Lima tahun yang lalu, ia memberi benih Sakura Jawa tersebut. Aku ingin yang warnanya merah jambu, tapi ketika tumbuh ia malah berwarna kuning.

Aku merawatnya sendiri. Berbagi tanah. Menyayangi dan menjaga dengan sebaik-baiknya. Di kala musim hujan atau kemarau aku sangat insecure pada Tabebuia. Siapa yang tak suka melihatnya, tinggi, kokoh, bahkan teduhnya Tabebuia miliknya yang juga milikku juga tidak tak ada yang mengalahkan. Warnanya terlalu memikat.

Menolak lupa dengan menghitung mundur ribuan hari ke belakang. Mencampuradukan ingatan perlahan. Mundur boleh saja untuk meluapkan ingatan baik, ingatan buruk dibuang pun akan sangat jauh lebih baik. Reza terlalu mengganggu pikiranku.

Dear Dahayu,
Entah mengapa saat kita bertemu bulan Februari lalu, semuanya berubah. Aku seperti sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Kamu mengalahkan kenyamanan apa pun. Aku ingat persis apa yang pernah kamu ucap, hingga kini aku begitu ingat ketika kamu mengatakan bahwa kamu lebih suka teh dari pada kopi. Kamu kebalikan dariku. 
Aku ingat pula saat kamu sangat terkagum melihat Tabebuia di kebun rumahku, sehingga aku memberimu 1 benih. Mungkin sekarang pohon cantik itu sudah melebihi pohon jambu depan rumahmu.
Tapi Dahayu, memutuskan adalah cara yang baik untuk mengakhiri atau bahkan memulai. Kadang menikah dengan orang dicintai, apalagi saling mencintai adalah keberuntungan yang tidak bisa semua orang dapatkan. Banyak yang menikah, tapi tidak saling cinta. Apa itu egois? Bagiku, iya.
Kamu bukan orang egois, aku tahu itu. Pikirkan baik-baik. Menikah itu seumur hidup hanya sekali. Kamu ingat apa yang pernah Djenar tulis? “Cinta tanpa menikah lebih sakral, dari pada menikah tanpa cinta” aku menyetujuinya. Bukan siapa yang lebih awal mengenalmu atau bahkan melamarmu, but who you love.

Email terakhir dari Reza. Entah apa maksudnya, ia mengirim pesan tersebut setelah memutuskan untuk tidak pernah menemuiku lagi dan menemui orang tuaku. TTS kalah membingungkan dibandingkan dengan jalan pikirannya.

Kembali menjadi orang asing adalah jalan tengah bagiku dan baginya, begitu pun bagi waktu yang telah kita bagi dan ruang yang kita pernah tempati. Mengembalikannya kembali menjadi orang asing pun adalah satu-satunya cara agar aku dengannya kembali bahagia. Sebelum ada dia, duniaku baik-baik saja, begitu pun dengan dirinya. Setelah ada dia, hidupku lebih dari baik-baik saja, tapi apa itu kebalikannya darimu, Reza?.

Sesungguhnya aku tak perlu terlalu berusaha merawat Tabebuia. Semua orang tahu bahwa Tabebuia lebih mudah hidup di musim kemarau dan akan tumbuh lebih cantik di musim hujan. Ia tahan dengan gangguan hama apa pun. Semuanya karena aku terlalu menyayangi Reza, hingga akhirnya ia memilih untuk tidak lagi melibatkanku dalam kehidupannya. Sudahlah, tak ada lagi guna menyebut dan mengingat namanya lagi.

Seperti biasa, setiap pukul 4 sore aku duduk di taman depan rumahku, kembali membiarkan angin menghabiskan sisa tembakauku. Tabebuiaku semakin besar dan cantik. Asalnya bukan dari Brazil yang pernah ia beri, melainkan dari rahimku. Reza menanamkan benih di tanah kandunganku. Tabebuia sudah 4 tahun dan sebentar lagi ulangtahun yang ke-5. Tabebuia seakan mengerti dan tak pernah bertanya peran ayah di dalam sebuah keluarga.

Ayahnya tak pernah mengetahui bahwa sudah ada Tabebuia lain yang telah hidup. Sebaiknya, ia akan selalu menjadi orang asing bagiku dan Tabebuia. 

Tuesday, September 15, 2015

Biru di Ujung Pena


Langun - Jika langun adalah sebuah kesenangan dan keindangan, maka jangan sungkan memanggilku Langun. Langun adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kesenangan dan dari bahasa Jawa ‘langen’ yang artinya keindahan. Aku yakin benar dengan Langun” surat terakhir dari Jena bulan Mei 2010.

Semuanya terlihat seperti roda memori yang berputar begitu lambat. Aku masih belum bisa melupakan Jena. Foto-foto dan tulisan tangannya masih ku simpan dengan apik. What i like about photograph is that they capture a moment that’s gone. Aku takut aku lupa dengan Jena.

Kamu ingat sahabat pena? Mereka pelaku yang berjuang untuk menjaga pertemanan dengan benturan jarak pada masanya. Sahabat pena pun ikut andil dalam membantu menafkahi pekerja pos. Amplop, kartu pos, surat, dan perangko adalah teman baik yang seakan terlupakan karena waktu. Bukan tak mau menerima teknologi, tetapi seni surat menyurat akan menjadi saksi cerita hidup yang akan membentuk legenda di masa yang entah kapan akan ada akhirnya.

Kami bertukar cerita melalui kata-kata yang absurd. Bertukar kata tanpa batas. Walau hanya dalam satu paragraf kata yang mungkin menurutmu adalah hal aneh dan membuang waktu. Bagiku, Jena dan suratnya adalah ujung jemariku yang membuatku semangat untuk menulis dan membalas suratnya, agar Jena tak berhenti menyuratiku.  

Surat pertamanya berawal dari acara radio di tahun 90-an. Program tersebut memberikan peluang bagi pendengarnya untuk melakukan pertemanan dengan cara bersahabat melalui pena. Pendengar saling bertukar alamat dengan cara mengirimkan alamatnya untuk disiarkan di radio.
Surat pertama Jena sampai di rumahku tahun 1998.

Jena, 1998, Temukan Dunia.
Karena kepuasan manusia tidak akan ada batasannya, begitu pun ujung lautan yang nihil ku temukan. Jika kamu tetap ingin menemukan ujung dunia, maka temukan ujungnya hingga tidak menepi. Ketika kamu menemukan persimpangan maka hidup memang seperti itu. 
Sepertinya Jena bukan orang biasa. Aku tak mengerti apa maksudnya. Aku pikir surat ini ditulis dengan standar menanyakan tanggal lahir, tempat sekolahku dimana, hobiku, atau yang lainnya. Aku jawab dengan hati-hati. Aku sungguh penasaran. Aku berusaha mengikuti gaya penulisan Jena, agar Jena balas penasaran denganku.

Rendra, 1998, Ruang dan Jarak
Karena selebihnya tak ada yang menandingi bagaimana Tuhan bekerja. Tak ada yang sanggup menjelaskan bagaimana sebuah ruang dan jarak tercipta. Mengenalmu adalah bagian cerita kecil hidupku yang tak pernah terkira.

Jena, 1999, Jendela
Ketika jendela rumah tertutup maka kebaikan dan kehangatan akan segera menepi menjauh. Buka sedikit demi sedikit jendela rumahmu, terutama jendela hatimu. Bukan kah keterbukaan memiliki kesempatan untuk merambat di ruangmu? Terutama hatimu, Ren.
Rendra, 1999, Kembali Soal Jarak
Celah di antaranya seperti hanya berjarak tak lebih dari sejengkalan jari. Seperti terhimpit dan mendekatkan jarak satu sama lain.



Jena, 1999, Perjalanan
Sebaik-baiknya perjalanan adalah ketika kamu menikmatinya. Entah itu akan pulang atau pergi. Sesuatu yang indah bisa dinikmati dengan sesederhana perasaan tanpa keluh kesah. Semua perjalanan akan baik-baik saja, karena baik atau buruknya Tuhan sudah atur. Doa yang jadi pendampingku.

Pertama kalinya Jena mengirimkan sebuah foto berbentuk polaroid, foto tersebut menggambarkan sebuah perahu di atas sungai yang mungkin berada di daerah terpencil. Sepertinya bukan di pulau Jawa, mungkin Sumatera, Kalimanta, Sulawesi, atau bahkan papua. Aku tak tahu.

Rendra, 1999, Seruak
Jika dalamnya sungai menyeruak tanpa tahu dalamnya, maka seperti itu pun aku ke padamu. Hati orang siapa yang tahu. Maka jika sedikit pun, aku perlu mengetahui.

Aku sudah mengira. Jena mungkin sudah pergi jauh dari rumahnya. Selama 2 tahun suratku tidak dibalasnya. Mungkin ia pergi dan hidupku masih berjalan apa adanya. Aku baru saja lulus dari kuliahku di jurusan Ilmu Komunikasi. Aku berpindah ke Jakarta untuk bekerja. Aku masih penasaran dengan kabar Jena. Maka, aku tetap menulis surat padanya.

Rendra, 2001, Kopi dan Getir
Kenikmatan teh aku simpan dulu untuk beberapa hari ini. Terlalu sibuk bekerja mungkin. Hari-hari yang sibuk rasanya kopi lebih baik untuk menemani, teh menemaniku saat hariku terasa lebih ringan. Maksudku, ketika suasana hati sedang getir. Seakan kopi lekat dengan kegetiran.
Jena, 2001, Kopi dan Filosofinya yang Macam-Macam
Kadang dua cangkir kopi saja tidak cukup untuk menelusuri harimu. Perlu berbagai rasa untuk mencicipi betapa nikmatnya dunia ini. Pada dasarnya, kopi sederhana dan sebegitu apa adanya. Biar lidah dan hati yang tentukan. Memilih kopi pun tidak bisa dipaksa, sama seperti memilih hati dan masa depanmu.
Jen, ternyata kamu masih berada di Jogja. Setiap kali pulang ke Jogja, aku menunggu suratmu. Apa mungkin kita bisa bertemu?

Rendra, 2001, Temu
Jika sebuah temu maka akan menjadi candu, apakah temu adalah akar sebuah rindu? Jika setuju, temui aku pukul 1 siang tanggal 8 September 2001 di Benteng Vredeburg.

Sedari pukul 1 siang hingga sore menjelang dan hingga petugas benteng memberi kode agar aku cepat meninggalkan benteng yang tutup sebelum adzan magrib, Jena tidak datang. Tunggu....aku kan tidak tahu Jena seperti apa. Ciri-ciri fisiknya pun aku tak tahu, begitu pun dia. Ah...kadang tindakan bodoh membutakan rasa penasaran. Mungkin, Jena pun datang dan mencariku dengan kesal. Bodohnya aku ini. Aku malu.

Jena, 2002, Balasan Sebuah Frekuensi Pertemuan
Frekuensi sebuah pertemuan yang sebentar biasanya akan lebih melekat. Seakan tidak ada waktu untuk membicarakan hal buruk. Bagaimana dengan kita? Pertemuan pun berada di titik yang tidak pernah kita ketahui. Biar takdir yang melekatkannya. 


Sepertinya, Jena memang tidak datang pada saat itu. Aku lega. Aku ingin mengirimkan sebuah potret di Stasiun Jakarta Kota pada Jena. Agar ia tahu, aku berada dimana saat ini.

Rendra, 2003, Ayo Tebak, Apa Persamaan Stasiun dan Hati?
Jen, potret sebuah stasiun ini katanya sama seperti hati, mereka sama-sama kadang kosong kadang hampa, tetapi kadang berlalu lalang banyak yang datang tapi tak ada yang tinggal. Buatlah hatimu seperti rumah yang akan tetap menjadi tempat sebuah pulang dan selalu dirindukan.



Empat tahun berlalu begitu seperti sebuah lagu yang mengalun. Ingatanku soal Jena seperti terkubur dalam sebuah dasar lubang yang menutup dan harus terkubur. Pada akhirnya, aku menikah dengan teman kampusku. Apa kabar Jena, apa ia sudah menikah? Entahlah...sejak dulu aku tak pernah tahu berapa usianya, nama lengkapnya, rupanya seperti apa, dan yang aku tahu hanya alamat rumahnya.

Jena, 2007, Us
Apa yang kita telusuri kadang mereka tak perlu tahu, karena semua tidak selalu tentang aku dan kamu. We are not too important. Everything is not always about us. Sudah ku bilang, dunia akan baik-baik saja jika ada atau pun tanpa kita. Keberadaan kita tidak sepenting itu. Selami hari kita masing-masing, maka dunia pun tidak akan berubah.


Tahukah apa yang terjadi? Surat tersebut diterima oleh istriku yang saat itu sedang menginap di rumah ibuku. Kami bertengkar hebat. Jena tidak salah, semuanya karena Jena tidak tahu. Istriku mengira aku menduakannya. Pada akhirnya, aku memperlihatkan semua surat-surat dari Jena. Aku menceritakan kisah sebentarku yang tidak nyata dengan Jena. Asti akhirnya mengerti, ia menganggapnya sebuah kekonyolan belaka. Menganggap Jena adalah orang iseng yang kesepian.

Rendra, 2008, Penerimaan.
Biar tanya yang jawab atas sebuah penerimaan. Layaknya laki-laki terhadap perempuannya atau kebalikannya. Maka sebuah penerimaan bukanlah menjadi hal yang saling memberatkan. Ketahuilah karena ‘saling’ adalah kata kunci sebuah penerimaan. Bukan hanya kamu saja begitu pun dengan hanya aku saja.
Jena seperti hantu, Jena seperti makhluk virtual, dan Jena seperti teman atau bahkan kekasih khayalan. Aku selalu membayangkan rupa Jena. Mungkin ia seorang gadis, berkulit kecoklatan, berparas ayu, berambut kepang panjang, dan memakai rok selutut. Perasaan ini lain, setiap kali membaca suratnya, jantungku berdegup tak karuan. Diam-diam aku mengirimi suratnya lagi. Berharap Jena membalasnya, asalkan bukan Asti yang membaca balasannya.

Jena, 2008, Langkah
Hati-hati melangkah sama-sama, karena melangkah bersama kaki kiri dan kanan pun pasti berbeda. Jika kita akan melangkah bersama, yakinlah kakimu tak akan melangkah mendahului kakiku atau kamu berjalan lambat hingga langkahmu tertinggal jauh dariku. Berjalan beriringan bukan hal mudah, sayang. Begitu pula dengan meninggalkan atau ditinggalkan, bukan hanya pilihanmu, tapi pilihanku juga.

Apa maksudmu Jen? Kamu akan meninggalkanku dan berhenti menyuratiku? Meski aku hanya menerima kabar darimu setahun sekali, bagiku kau itu lebih dari langkahku, sudah ku bilang, kau ini jemariku.

Rendra, 2008, Bersandar
Memang, di bahu kananku ada dunianya yang ku simpan disini. Bukan maksud membebani diriku sendiri, tetapi bahu kiri ku masih ku sediakan untukmu. Berbagi dunia denganmu adalah maksud Tuhan. Semua berjalan apa adanya, meski tanpa terucap, tanpa pertemuan, anggaplah semuanya adalah sebuah tanda. Karena semua pertemuan pada akhirnya akan bermuara.

  
Langun adalah surat terakhirnya, aku tak tahu apa maksudnya. Sudahlah, Jena memang tidak nyata. Anggaplah orang iseng yang hanya mempermainkan kata-kata sebagai mainannya.

Keluarga kecilku tumbuh di kota metropolitan. Buah cintaku dan Asti kini telah memasuki usia sekolah. Ia anak perempuan yang sangat cerewet dan suka sekali berbicara, sama seperti ibunya. Di hari pertamanya masuk sekolah dasar, aku rela izin tak masuk kantor agar tak melawatkan moment penting bersamanya. Aku mengantarnya sekolah dan menjemputnya, sementara Asti? Ia berada di luar kota yang mengharuskannya bekerja di hari pertama anaknya masuk sekolah.

“Ayaaaahhh!” Seruni dan beserta teman-temannya berhamburan keluar kelas. Ia datang padaku bersama teman barunya. Runi berlari menggandengnya.
“Halo cantiknya ayah, gimana sekolah pertamamu? Seru?”
“Seru yah! Disini Runi temennya banyak, ini temenku yah. Mamanya gak bisa jemput, pulang bareng kita aja ya. Boleh?”
“Boleh sayang, halo siapa namamu nak?”
“Langun, Om!”

Jena. Hari ini akhirnya tiba.

Friday, August 14, 2015

Waktu Kamu Rindu


“Sekurang ajar itu kah rindu bisa membuatku kurang fokus pada pekerjaanku?
Sebegitu hebatnya rindu bisa membuatku susah tidur setiap hari?
Sepenting itu kah rindu harus diciptakan di dunia?
Siapa sih sebenarnya yang menciptakan rindu?” Kataku bergumam dalam hati. Aku kesal sendiri.  


Bila kamu merasa orang yang sedang rindu itu berlebihan, maka hati kecilmu terlalu takut untuk mengatakan sebuah rindu. Entah dari mana datangnya rindu, ia datang begitu saja. Bukan kah rindu bisa pada siapa saja? Bukan kah masa bisa dirindukan pula?

Butiran rindu menggelembung dari kecil hingga membesar dan pada akhirnya akan pecah, sehingga membuatmu merasa terganggu akan kehadiran rindu sendiri dan yang selaras adalah jika gelembung rindu yang kamu buat akan bertemu gelembung rindu yang lain yang tentu tertuju padamu. Maka, gelembung akan terpecah dengan semestinya.

Kadang aku berpikir hingga gelatak-gelitik tidak bisa tidur tidak karuan bukan karena benar-benar rindu dan ada beberapa pertanyaan yang menggelitik like psychological effect my mind:
  1. Dari mana kah asal muasal rindu?
  2. Fakta ilmiah apa yang menyebabkan manusia bisa rindu?
  3. Apa rindu hanya bisa dirasakan oleh manusa saja? Apa hewan, tanaman, dan jin juga merasakan rindu?
What makes us miss someone? Menurut, St. Emilion dalam sebuah discussions room, “Ego attachment. We don’t like losing what we’ve grown accustomed to, it’s instinct. Doesn’t mean it’s a good thing though. Maybe you just remembered her/him being good at that kind of stuff and therefore started thinking of her when the problem appeared and then came the feelings of missing him/her, triggered by thinking of him/her”

Menurut dr. Koesmanto dalam kompasiana, “Hal-hal yang berkaitan dengan fantasi/pemahaman suatu kejadian, letak pusat otaknya ada di bagian depan (frontal lobe). Maka tidaklah heran, bila zat-zat perusak otak besar bagian depan (Narkoba) sangat mengganggu sekali kepribadian manusia. Zat yang hampir sejenis morphin dan diproduksi oleh tubuh manusia adalah Endomorphin. Zat yang mampu membuat kita bahagia atau sedih. Zat ini pula sangat berpengaruh terhadap terjadinya fantasi "Rindu". 
Ketika merasakan rindu, jika diukur dengan satuan yang abstrak, “mengapa  saya lebih rindu si A daripada B?” mengapa bisa seperti itu? Karena sesuatu yang biasanya ada dan hadir setiap hari yang tiba-tiba hilang. Menjadikan terasa hilang dalam kebiasaan hidup. Maka tingkat ke"Rindu"an semakin terasa. Disinilah mulai terjadi ketidakseimbangan antara logika dan perasaan hati.

rin·du a 1 sangat ingin dan berharap benar thd sesuatu; 2 memiliki keinginan yg kuat untuk bertemu
me·rin·du v 1 menjadi rindu; menanggung rindu
me·rin·du·kan v 1 sangat menginginkan dan mengharapkan (hendak bertemu); 2 menaruh cinta kpd; 3 membangkitkan rasa rindu
rin·du·an n sesuatu yg dirindukan;
ke·rin·du·an n perihal rindu; keinginan dan harapan (akan bertemu)

KBBI saja tahu bagaimana mengatasi rindu, masa kamu tidak?

Sama seperti kopi, kopi itu sederhana, hanya filosofinya saja yang bermacam-macam. Rindu pun begitu. Rindu dibuat susah bagi mereka yang kehabisan akal bagaimana cara menangani tekanan psikologis yang satu ini. Oh... bukan, bisa jadi tekanan psikologis kalau rindu bertepuk sebelah tangan. Penghalau rindu itu juga sederhana ko. Bertemu adalah obat rindu yang paling mujarab.

dan sebuah peluk.


*Dan, pertanyaan terakhirku belum terpecahkan, “apa rindu hanya bisa dirasakan oleh manusa saja? Apa hewan, tanaman, dan jin juga merasakan rindu?” Apa ada yang bisa membantuku untuk menjawabnya?

Saturday, August 1, 2015

No Father-Daughter Wedding Song



Karena anak perempuan tidak akan bisa bertahan tanpa nasihat ayahnya” – Perempuan Sore



Sebaiknya aku tak perlu seemosional ini ketika menceritakan soal seorang ayah. Si anak perempuan manja ini tadi pagi sempat menangis ketika ingat bahwa hari ini adalah tanggal 1 Agustus, artinya sudah 13 tahun ia tinggal pergi oleh Ayahnya tanpa pamit. Lelaki kesayangannya diperintah Tuhan untuk segera pulang.

Amarahku tak tertahan, emosiku meledak-ledak, dan tak sanggup lagi menyeka air mata yang terbuang. Pernah suatu hari, ketika melihat seorang anak perempuan lain memakai toga dan hari bahagianya yang nampak begitu sempurna. Ayahnya menggeondongnya dengan perasaan yang nampak bahagia tiada tandingan. Ketika melihatnya, hatiku sakit bukan main. Aku merasa Tuhan tidak berada di pihakku. Aku benar-benar menangis melebihi tersedu-sedu. Mengapa harus ayahku yang pulang? Bukan ayah dari anak-anak yang lain? Saat itu, aku marah pada Tuhan. Aku berada di titik yang mudah dijatuhkan.

Marahku pada peciptaku membuatku tidak mau menepati kewajiban sebagai seorang muslimah, tidak mau solat, malas berbuat baik, mulai mengabaikan keluarga, merokok, hingga mabuk-mabukan. Belum lagi berkali-kali patah hati yang karena memang bukan kesalahanku. Tak ada yang bisa menjagaku. Semua keburukan seakan menjadi temanku. Aku seperti binatang liar yang lepas dari kandangnya, berkeliaran tidak tahu mau kemana, dan tidak menemukan jalan pulang.

Sedari dulu, aku merasa ingin segera menikah, agar ada yang bisa menggantikan tugas ayahku untuk menjagaku, melindungiku, dan menuntunku untuk berubah menjadi seorang anak perempuan yang baik. Saat mengenakan toga pun hatiku terasa sakit sekali, apalagi ketika aku akan menikah nanti? Aku benar-benar takut. Hatiku pasti akan lebih sakit dari hari yang lalu ketika aku mengenakan toga. 

Tahun 2015 ini, Tuhan membukakan pintu untuk kembali ke jalan-Nya. Bulan Mei lalu aku ditegur-Nya dan Tuhan Maha baik, ia memberiku sakit yang tidak bisa dijelaskan secara medis sebagai jalan untuk menjadi anak yang baik bagi keluarga dan sebagai penggugur dosa-dosaku. ‘Ngadoja ka Gusti Allah’ adalah dosa terberatku, aku mengakuinya.

Tentu, semua anak perempuan ingin menikah dengan didampingi ayahnya sebagai wali nikahnya. Bahkan, lagu ‘Marry Your Daughter’ yang diinginkan hampir semua anak perempuan pun seakan tidak bisa berlaku untukku. Lelaki yang aku cari adalah tentu yang bisa menjadi pengganti sosok ayahku yang bisa mendekatku dengan Tuhan, menggantikan tugas ayahku untuk melindungi si anak manja ini, dan tentu menyayangi keluargaku. 

Jangan salahkan aku jika aku sering menangisi ayah, bukan karena aku marah pada-Mu. Ini hanya bentuk kerinduan lain untuk ayah. Hatiku sudah tidak sakit lagi, seharusnya. Doa-doaku menemanimu di rumah Tuhan, begitu pula doa-doamu yang menuntunku di dunia.

Semoga di hari yang abadi nanti, aku akan tetap menjadi anak perempuanmu dan engkau akan tetap menjadi ayahku.