Wednesday, June 4, 2014

Belajar Menjadi Seorang Egois

Menghargai diri sendiri adalah tidak membiarkan orang lain memperlakukanmu dengan buruk” – Azza

Terbiasa menghargai orang lain sehingga lupa untuk menghargai diri sendiri bisa berakibat buruk bagi dirimu sendiri. Terkadang manusia memang perlu menjadi egois. Egois itu manusiawi. Aku lupa akan menghargai diri sendiri. Hal yang dulu tak pernah bisa aku lakukan, bahkan harus membayangkannya pun aku tak mau, kini semuanya terjadi. Hal-hal yang sedemikian buruk telah menimpa hidupku karena rasa ingin selalu membahagiakan orang lain.
Beberapa waktu lalu, aku dipertemukan dengan beberapa orang yang membuatku tak lagi menghargai diriku sendiri. Tahun 2013 lalu, aku dipertemukan dengan I. Pada awalnya, semua hal I tunjukkan dengan baik dan aku berhubungan dengannya. Berusaha selalu membuatnya bahagia, meski I terkadang tidak melakukannya untukku. Hingga pada suatu saat ketika aku telah membuatnya bahagia, aku lupa, jika aku tak lagi menghargai diriku sendiri. I memperlakukanku dengan buruk. Bukan hanya I tetapi Z juga melakukan hal yang sama. Memperlakukanku dengan buruk. Namun aku bisa segera menyadarinya bahwa ada sesuatu yang salah dengan diriku.
Pada akhirnya, beberapa bulan kemarin Tuhan mempertemukanku dengan R. Pada awalnya, semua terasa normal dan baik-baik saja. Namun ketika aku sadar ia mulai memperlakukanku dengan tidak baik, sangat tidak baik. Aku berani mengambil keputusan untuk menghentikan dan melawan semua perlakuan-perlakuan buruknya. R pun pergi. Apa ada yang salah dengan keputusan untuk menghargai diri sendiri?
Hal-hal yang mereka lakukan mungkin sebuah pembelajaran dari Tuhan agar manusia diperbolehkan untuk menjadi seorang egois. Memilih untuk melindungi diri dari sesuatu yang buruk yang tidak terlihat dengan mata adalah bentuk penghargaan untuk diri sendiri.
Menjadi egois karena Tuhan mungkin akan menjadi suatu hal yang berat. Niat yang baik karena Tuhan akan Ia tunjukkan dengan berbagai cara-Nya yang menakjubkan. Ketika aku berada dalam sebuah krisis iman dan mempertanyakan keberadaan Tuhan, Ia membiarkanku berada di ambang keraguan dan membiarkanku memilih. Ternyata, Tuhan-ku hanya Allah. Allah tetap Tuhan-ku, keyakinanku pada-Nya taka akan berubah, meski aku pernah menghujat-Nya, memaki-Nya, dan tidak memercayai-Nya. Allah tetap memberikan pintu maaf. Napas yang masih aku hela, masih ada senyuman di bibir orangtuaku, atau kasih sayang tulus yang tak pernah terputus adalah bentuk maaf dari Tuhan.
Maka, perbolehkan aku menjadi seorang egois, agar aku bisa menghargai diri sendiri dan tidak membiarkan orang lain memperlakukanku dengan buruk (lagi).

Jakarta, 4 Juni 2014

01:07