“Menghargai diri sendiri adalah tidak
membiarkan orang lain memperlakukanmu dengan buruk” – Azza
Terbiasa
menghargai orang lain sehingga lupa untuk menghargai diri sendiri bisa
berakibat buruk bagi dirimu sendiri. Terkadang manusia memang perlu menjadi egois.
Egois itu manusiawi. Aku lupa akan menghargai diri sendiri. Hal yang dulu tak
pernah bisa aku lakukan, bahkan harus membayangkannya pun aku tak mau, kini
semuanya terjadi. Hal-hal yang sedemikian buruk telah menimpa hidupku karena rasa
ingin selalu membahagiakan orang lain.
Beberapa waktu
lalu, aku dipertemukan dengan beberapa orang yang membuatku tak lagi menghargai
diriku sendiri. Tahun 2013 lalu, aku dipertemukan dengan I. Pada awalnya, semua
hal I tunjukkan dengan baik dan aku berhubungan dengannya. Berusaha selalu
membuatnya bahagia, meski I terkadang tidak melakukannya untukku. Hingga pada
suatu saat ketika aku telah membuatnya bahagia, aku lupa, jika aku tak lagi
menghargai diriku sendiri. I memperlakukanku dengan buruk. Bukan hanya I tetapi
Z juga melakukan hal yang sama. Memperlakukanku dengan buruk. Namun aku bisa
segera menyadarinya bahwa ada sesuatu yang salah dengan diriku.
Pada akhirnya,
beberapa bulan kemarin Tuhan mempertemukanku dengan R. Pada awalnya, semua
terasa normal dan baik-baik saja. Namun ketika aku sadar ia mulai
memperlakukanku dengan tidak baik, sangat tidak baik. Aku berani mengambil
keputusan untuk menghentikan dan melawan semua perlakuan-perlakuan buruknya. R
pun pergi. Apa ada yang salah dengan keputusan untuk menghargai diri sendiri?
Hal-hal yang
mereka lakukan mungkin sebuah pembelajaran dari Tuhan agar manusia
diperbolehkan untuk menjadi seorang egois. Memilih untuk melindungi diri dari
sesuatu yang buruk yang tidak terlihat dengan mata adalah bentuk penghargaan
untuk diri sendiri.
Menjadi egois
karena Tuhan mungkin akan menjadi suatu hal yang berat. Niat yang baik karena
Tuhan akan Ia tunjukkan dengan berbagai cara-Nya yang menakjubkan. Ketika aku
berada dalam sebuah krisis iman dan mempertanyakan keberadaan Tuhan, Ia
membiarkanku berada di ambang keraguan dan membiarkanku memilih. Ternyata, Tuhan-ku
hanya Allah. Allah tetap Tuhan-ku, keyakinanku pada-Nya taka akan berubah,
meski aku pernah menghujat-Nya, memaki-Nya, dan tidak memercayai-Nya. Allah
tetap memberikan pintu maaf. Napas yang masih aku hela, masih ada senyuman di
bibir orangtuaku, atau kasih sayang tulus yang tak pernah terputus adalah
bentuk maaf dari Tuhan.
Maka, perbolehkan
aku menjadi seorang egois, agar aku bisa menghargai diri sendiri dan tidak
membiarkan orang lain memperlakukanku dengan buruk (lagi).
Jakarta, 4 Juni
2014
01:07