Thursday, October 18, 2018

PURNAMA TERAKHIR DI MUSIM KEMARAU

But don't you dare let our best memories bring you sorrow
Yesterday I saw a lion kiss a deer
Turn the page, maybe we'll find a brand new ending
Where we're dancing in our tears 
- Lost Stars, Keira Knightley 
DAHAYU
“Dari sekian banyak hati yang terpaut, tempat ini yang selalu membawa maaf.
Kamu tahu kenapa? Karena di tempat ini kita pernah saling berbagi malam dan saling bercerita hingga pagi.
Marah pernah kamu tuangkan di sini, apalagi benci.
Sayang dan cinta terlalu naïf untuk kamu bicarakan di tempat ini.
Namun, aku selalu suka tempat ini” Begitu ujarku pada dia yang sudah berlama-lama diam, tanpa bicara.

“Ya aku tahu, kita memang pernah saling menghangatkan, meski keberadaan dan keadaan selalu terbantahkan” Aku melanjutkannya lagi, dia masih juga diam.

Tegukan kedua. Segelas pun masih belum habis. Lebih baik berbicara dengan sulutan amarah, daripada berbicara dengan yang diam. Seakan aku tak didengarkan. Ya, aku sudah biasa.

Lantunan lagu sendu sebaiknya jangan diperdengarkan dulu untuk saat ini. Lebih baik aku mendengarnya berbicara. Aku rindu suara beratnya yang seperti butiran suara ombak, desir pasir, serta angin hangatku rasa. Perempuan seketika lemah, ketika tangan lelaki mengusap rambutnya. Begitu, kah? Aku lemah. Sudah disangka,

By the way, aku cuma mau bilang, aku pernah berada pada titik bahwa kita saling menemukan. Ya, aku menemukanmu, tapi kamu menghilang begitu saja, tapi ya, gak apa-apa”. Aku rasa, dia mulai tersenyum.

Setidakanya, aku hanya perlu mengalami jatuh sekali. Begitu pula kamu. Kita sama-sama pernah jatuh. Membangun kembali yang jatuh, bisa jadi menjadi baik atau bahkan bisa menyakiti satu sama lain. Tenanglah, aku sadar akan itu. Bersandar di bahunya adalah kepingan surga bagiku. Hangat, meski hatinya dingin. 

Fajar di bulan kemarau ada di tepi malam kita hari ini. Rahasia dan cinta kadang saling bersinggungan, tapi mereka enggan dikaitkan. Kepalaku berada di atas dada lapangnya. Ini tempat yang aku ceritakan. Tempat yang paling aku suka.

Sayangnya, jauh sudah kita melangkah datang dan pergi, tapi lupa kapan pertama kali kita saling mendekat. Seperti yang mereka bilang, ribuan purnama sudah kita lewatkan, tetapi hanya purnama kali ini aku merasa kembali dekat denganmu, seperti pertama kali bertemu. Aku tahu, mungkin kemarau ini adalah kemarau terakhir bagiku, begitu juga bagimu.

Tabebuia dan kemarau selalu menjadi teman baik. Nak, beberapa kemarau sudah kita lewati bersama, tetapi lelaki yang harus kau panggil ayah ini masih belum mengetahui jika kau ada, kau tumbuh, dan kau hidup. Biar hanya rindu yang memberi tahunya, karena hidup berdua denganmu adalah cukup.


REZA
Kita tak akan pernah tahu sampai kapan rasa satu sama lain akan bertahan. Jika ternyata memang kita kembali menjadi sesama orang asing yang tak mengenal, jika kita memaksa, maka kita melawan kehendak Tuhan. Seharusnya tidak ada pertemuan, bahkan sapaan pun seharusnya tidak pernah ada.

Ya. Aku tahu. Seberapa jauh kita pernah melangkah pergi, melempar, lalu membuang serpihan yang pernah digenggam, semuanya akan tetap menyelinap dalam ingatan. Kita bukan hanya pernah saling mengenal dan mendekatkan jarak, tetapi kita sering kali menjauh tanpa alasan yang jelas. Oh...tidak, bukan tanpa alasan, ada banyak alasan yang jelas mengapa ada hubungan seperti kita.


Malam ini, setelah hujan dan sekembalinya aku dari Pasar Santa untuk sekadar ngopi dan membeli beberapa barang, ke Selatan Jakarta aku mengarah ke sebuah tempat yang pertama kali aku datangi. Seseorang mengundangku. Di sebuah apartemen yang lebih cocok disebut rumah susun, aku berkunjung ke tempat itu untuk menemui seseorang yang asing bagiku, ia menghubungiku melalui surel. Kami berkomunikasi dan bercerita mengenai banyak hal, hingga aku mencium beberapa kecurigaan. Aku penasaran. Saatku mengetuk pintu, lalu peremupuan berusia 30-an membuka pintu. Aku kaget bukan main, begitu pun dia.

Lama aku mengenalnya. Lama pula aku tak berjumpa dengannya. Wajahnya masih terlihat sama, rambut pendeknya masih seperti dulu, hanya garis wajah yang berbeda. Aku dan dirinya sama-sama menua. Senyumnya masih hangat, walau aku tahu perasaanya bercampur aduk setelah bertahun-tahun aku pergi dengan hanya meninggalkan surel padanya.

Kita lebih banyak diam, bukan kita, tapi aku. Ia sedikit banyak berbicara soal hubungan yang pernah kita jalani. Aku hanya mendengarkannya. Aku takut untuk bicara, bahkan aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku merasa, aku terlalu jahat padanya. Dia mendekap di dadaku tanpa berkata. Detak jantungnya berpacu cepat.

Sejujurnya, aku ingin kembali, tapi tidak bisa. Semua keadaan sudah berbeda. Aku ingin meminta maaf, tapi aku tahu sejujurnya dia tidak akan memaafkanku, meski tubuhnya sekarang berada dalam dekapku. Ia hanya diam, tidak lagi bicara, wajahnya memerah seakan ada yang ingin dia katakan lagi.

jauh, aku hanya ingin bilang, kalau aku hanya rindu, tetapi bukan berarti kita bisa bersatu lagi.
Aku tidak bisa.
Aku sudah menjadi seorang ayah juga seorang suami.
Aku  tidak datang untuk meminta dimaafkan, karena aku sadar, aku terlalu jahat padamu”
Semua jadi kebalikan, wajahku yang memerah dan air mukaku seakan mengering, dan mataku terasa menghangat.

Dahayu tersenyum dan menjawab, “tidak apa, aku sudah tahu”

TABEBUIA

Aku hanya bisa diam dan mengintip ibu sedang berada di ruang tamu bersama seorang pria. Ketika suara ketukan pintu itu datang, ibu mengintip dari balik pintu. Ibu menyuruhku segera bersembunyi di balik kamar ibu. Kata ibu, aku harus diam di kamar, tidak boleh ke mana-mana, dan tidak boleh membuat suara apapun. Aku berusaha mendengarkan obrolan antara ibu dan pria dengan sedikit uban itu dari balik pintu.


Mungkin ibu kira aku tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa. Aku sudah besar, Bu! Usiaku sudah menuju tahun ke-12. Aku tahu siapa pria itu, bahkan jika ibu tahu, aku yang mengundangnya ke tempat ini. Apakah ibu sadar, mana mungkin ada orang yang bertahun-tahun tidak bertemu lalu dengan begitu saja datang menemui tempat tinggal baru ibu.

Bu, aku hanya ingin menyapanya dan memanggilnya Ayah. Apa boleh? Meski aku tahu, bahwa aku punya ibu tiri dan saudara tiri peremuan juga yang hampir seumuran denganku. Aku tidak apa-apa.  Semuanya tidak mudah bagi ibu dan aku tahu. Aku hanya ingin mendobrak pintu ini, berlari, lalu memeluk kalian dan memanggil pria itu “AYAH!”

Sudah setahun ini aku mencari keberadaan ayahku. Aku mengobrak-abrik seisi rumah eyang saat pindah ke rumah susun ini, aku tidak menemukan apa pun tentang ayah. Sebelum eyang wafat, aku selalu bertanya pada eyang mengenai ayah, tetapi eyang hanya menjawab “Tanya saja ibumu, aku tidak boleh bicara soal ayahmu.”

Jika aku tanya ibu mengenai ayah, ibu menjawab “Yang sayang, cinta, dan melindungi kamu itu aku, ibumu, bukan ayahmu”, sebagai anak-anak aku kebingungan. Semakin besar, aku semakin penasaran dengan sosok ayah. Hingga pada suatu saat ibu tertidur dengan laptop yang masih menyala, aku melihat dan mencari apa ada jejak soal ayah.

Ya, semua tentang ayah ada di laptop ibu. Ibu menyimpannya dengan baik dalam bentuk digital. Pantas saja aku tidak menemukannya dan kebetulan, saat ibu tertidur dan meninggalkan laptopnya, ibu sedang membuka surel dari seorang pria bernama Reza 12. Email itu dikirim 12 tahun lalu, tepat beberapa bulan sebelum aku lahir. Aku semakin bersemagat untuk mencari tahu asal-usul pria bernama Reza itu. Aku pun nekat menghubungi pria itu melalui surel.

Bermodal alamat surel, aku menghubungi pria itu dengan alamat surel fiktif, berpura-pura menjadi teman lamanya. Aku mengarang agar dia pun menebak-nebak siapa teman lama yang telah dilupakannya. Aku memancing agar dia bercerita mengenai kehidupannya.

Aku mengitip akun media sosialnya. Ia adalah seorang pria 38 tahun yang berbeda usia 4 tahun dengan ibu. Ia pria dengan karir cemerlang  di dunia seni. Sudah mempunyai istri yang tidak kalah cantik dengan ibu dan mempunyai 1 anak perempuan yang hampir seumuran denganku. Ia tidak tinggal di Jakarta, melainkan di sebuah kota kecil selatan pulau Jawa. Aku tidak mengerti, mengapa pria ini bisa bertemu ibu, padahal tempat tinggal ibu dan pria ini sangat berjauhan.

Pria itu bilang, bahwa ia akan ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Ini kesempatanku, aku ingin bertemu pria yang aku curigai bahwa pria ini adalah sosok ayah. Aku memintanya untuk datang ke sini dan anehnya, ia setuju. Alasan terkuat mengapa aku mencurigai ia sebagai Ayah. Di surel ibu tidak ada surel dari pria lain (Selain urusan pekerjaan) yang menguhubungi ibu dan selama ini ibu tidak pernah punya pacar. Selain itu, aku juga menemukan surel yang berisikan kata-kata romantis dari pria itu untuk ibu. Ya surel 12 tahun lalu.

Aku tidak berani membuka pintu. Ibu pasti akan marah. Aku hanya bisa mengintip dari balik lubang pintu. Ayah memeluk ibu. Aku segera mengetik surel untuk ayah. Aku harap, ayah membacanya sebelum ia pulang.

DAHAYU
Aku berharap hari ini tidak segera berakhir. Aku tahu kamu sudah jadi milik orang lain, tapi biarkan aku memelukmu beberapa saat, karena setelah ini hari-hariku akan berjalan lagi seperti biasa.

Hati kecilku, ingin kamu tahu, bahwa benih Tabebuia yang kamu berikan 12 tahun lalu benar-benar tumbuh dan hidup. Sayangnya, ini bukan saatnya, aku tidak mau kami tahu, aku takut hari-hariku berubah setelah kamu tahu.

REZA
Siapa yang mengirim surel itu padaku? Dahayu? Rasanya tidak mungkin orang seperti Dahayu berpura-pura menjadi teman lamaku. Ia bukan orang seperti itu. Pasti ada seseorang di balik ini. Aku penasaran. Mataku berkeliaran melihat apakah ada orang di ruangan ini selain aku dan Dahayu.

“Yu, sebaiknya aku pulang, ini sudah gelap, aku pun masih ada pekerjaan yang harus diselelsaikan” kataku.

“Iya. Tidak apa-apa. By the way, kenapa kamu bisa ada di sini? Kenapa kamu tahu tempat tinggal baruku?”

Aku hanya tersenyum. Aku bingung untuk menjawabnya. Aku tidak tahu harus menjawab apa, tetapi aku sungguh penasaran. Siapa orang dibalik surel tersebut. Aku memilih untuk pulang, padahal sebenarnya aku sedang tidak dalam pekerjaan. Aku hanya takut keadaan membuatku lupa dengan Arlana dan Maria.


Halo pak Reza,
Maaf kalau aku bikin pak Reza bingung.
Perkenalkan, namaku Tabebuia, aku perempuan dan usiaku baru menuju 12 tahun.
Pak Reza pasti mencari aku ya? JIka iya, sebaiknya pak Reza segera kembali ke rumah susun ibuku.
Aku ada di balik pintu kamar ibu. Aku menguping dan mengitip kalian.
Ibu tidak memperbolehkanku keluar kamar saat Pak Reza mengetuk pintu dan ibu mengintip dari dalam.
JIka sudah menemukanku, apa boleh aku panggil Pak Reza dengan sebutan “Ayah”?

Salam,
Tabe.

Tidak lama setelah Reza keluar dari ruangan tersebut, Tabe segera keluar kamar dan berharap pria itu kembali untuk mengetuk pintu dan memeluknya.

Dahayu tetap meminum kopi sambil merokok di balkon rumah susun, seakan tidak terjadi apa-apa.

Tabe duduk menonton TV sembari melirik ke arah pintu. Berharap pria yang ingin ia panggil Ayah itu datang kembali untuk memeluknya.

Reza berjalan pulang sambil membuka ponselnya, lalu membaca surel dari Tabe, ia menangis, perasannya tak karuan. Ia ingin kembali untuk mengetuk pintu. Namun, ia tidak sanggup. Kakinya terasa kaku dan jarinya terasa membeku.

Surel itu pun tidak pernah Reza balas. Tidak ada lagi pria yang mengetuk pintu itu lagi di musim kemarau. Semuanya terlihat berjalan seperti biasa, seakan kejadian hari itu tidak pernah terjadi.