"Setidaknya masih ada ruang yang bisa mendengarkan, bukan menjemukan. Mungkin kamu tahu, jatuh sejatuh-jatuhnya bukan aku yang ingin. Hanya membiasakan lagi menjadi kita tidak lagi saling mengenal" - #365dayspagebookchallenge, hari ke-305.
Senyumnya masih sebatas sapaan
hangat atau candaan lepas di saat satu ruang yang berdelapan. Biasanya kami
duduk berhadapan yang tersekati, tapi Jumat malam itu, aku duduk bersebalahan
dengannya membuatku tak tahu harus bertingkah apa, tanpa sentuhan tentunya.
Awalnya memang tiada kata yang terucap dari mulutnya yang nampak terkunci dan
membisu.
Obrolan tidak penting menjadi
penting. Aku memasang telinga lebar-lebar agar bisa mendengar setiap kata yang
diucap. Kami berbicara hal ini dan itu tanpa saling menatap, hanya aku yang
menatap. Itu pun hanya dengan sedikit keberanian.
Tawaan renyah bersama dia menjadi
barang langka. Waktu 30 menit menjadi waktu yang sangat singkat seperti sebuah
kedipan mata. Tangan kami bersentuhan secara tidak sengaja. Jantungku berdebar
seperti remaja yang sedang kasmaran. Aku mulai kecanduan. Ulangi lagi hari
Jumat itu, agar setiap hari menjadi seperti Jumat malam itu.
Aku tak peduli dengan keadaanya,
jika tidak ada yang mau atau tidak bisa disalahkan, mungkin aku bisa
menyalahkan keadaan. Aku mengantar Nanda pulang, kebetulan hari itu hujan deras
dan kebetulan arah pulang aku dengannya searah. Nanda turun dari mobilku dan
melambaikan tangannya ke arah pintu yang disambut oleh seorang anak perempuan
berusia 10 tahun di depan rumahnya yang tak lain adalah anak tunggal Nanda.
Jumat Pertama
Farewell party manager di kantorku terbilang sudah kelewatan. Mr.
Ryu akan kembali ke Jepang dan ia menggiring semua karyawannya untuk berpesta.
Jujur saja, aku bukan benci alkohol, aku hanya menghindarinya. Namun, teman
sekantor mencekokiku dengan minuman yang tidak aku mengerti apa mereknya, yang
pasti membuatku mabuk hingga semuanya terasa menegang. Mereka tahu aku bukan
peminum.
Perempuan itu, berambut ikal
panjang, dan mataku tertuju padanya. Aku terduduk lalu ia menghampiriku.
Tubuhnya membayang jadi dua, namun senyum dan dua lubang di pipinya ketika
tersenyum masih terlihat. Ia menghampiriku dengan dan memapahku yang tak lagi
sadar. Entah bagaimana tubuhku yang tinggi kurus bisa yang giring ke dalam mobil.
Kulit kami saling bersentuhan
tanpa rasa malu Nanda menciumku perlahan. Alkohol memang membuat siapa pun lupa
akan siapa dirinya. Aku mabuk. Apa Nanda pun mabuk? Aku tak tahu pasti. Sentuhan
dan belaian hangatnya saja yang bisa aku rasa, hingga kau tahu pasti apa yang
aku lakukan dengan Nanda.
Jumat Ketiga
Awalnya tak pernah ada rasa sedikit
dengan ibu beranak 1 itu. Aku hanya seorang bujang 34 tahun yang takut untuk
mendekati perempuan. Aku ini bukan lelaki introvert, aku tegaskan lagi, aku
hanya tidak bisa mendekati perempuan. Kami masih duduk berhadapan yang
terhalangi oleh sekat kaca transparan. Tentu wajahnya selalu muncul di hadapanku.
Konsentrasi bekerjaku mulai menurun.
Seakan tak pernah ia sadari apa
yang pernah ia lakukan di Jumat pertama. Sentuhannya masih terasa dan terbayang
tak tahu waktu. Bibir tipisnya seakan mengajakku untuk berbicara dan
mendaratkannya di sana. Tidak, sebaiknya aku harus pindah meja kerja.
Setidaknya rambut ikal panjangnya tak melambaikanku untuk menggodanya.
Sementara itu, aku pindahkan
laptopku ke meja Alisha yang sedang business
trip dalam jangka waktu panjang. Setidaknya aku memunggungi Nanda. Aku tak
tahan.
Jumat sore ini hujan lagi. Aku
berjanji bertemu teman kampus yang sudah lama tidak bertemu di restoran Mexico daerah Panglima Polim. Aku tiba terlebih dahulu. Seperti
biasa, Andri selalu datang terlambat.
“Sudah tiga batang nih, bos?”
Andri menghampiriku.
“Wah....kebiasan lo nih, Ndri,
ngaretnya kadang kurang ajar” kami saling berpelukan tapi bukan a la bromance.
Kami tertawa sebentar.
“Sama siapa Den? Masih sendiri
aja nih?” Tanya Andri
“Ya seperti biasa still stay alone but not lonely”.
“Mau gue kenalin gak sama
temen-temen kantor baru istri gue? Cantik-cantik loh, kebetulan gue ajak dia
kesini”
“Mana bini lo? Percuma cantik
kalau udah jadi bini orang mah, Ndri. Seumur gue mana ada perempuan yang masih
lajang”
“Lagi di toilet dia. Tenang,
istri gue jagonya nyomblangin orang. Nah, ini dia orangnya datang. Sayang,
kenalin ini Deni temen sekelasku dulu jaman kuliah waktu di Surabaya.”
“Deni”
“Nanda”