Tuesday, November 10, 2015

Jumat dan Roman Ketiga

"Setidaknya masih ada ruang yang bisa mendengarkan, bukan menjemukan. Mungkin kamu tahu, jatuh sejatuh-jatuhnya bukan aku yang ingin. Hanya membiasakan lagi menjadi kita tidak lagi saling mengenal" - #365dayspagebookchallenge, hari ke-305.


Jumat Kedua 


Senyumnya masih sebatas sapaan hangat atau candaan lepas di saat satu ruang yang berdelapan. Biasanya kami duduk berhadapan yang tersekati, tapi Jumat malam itu, aku duduk bersebalahan dengannya membuatku tak tahu harus bertingkah apa, tanpa sentuhan tentunya. Awalnya memang tiada kata yang terucap dari mulutnya yang nampak terkunci dan membisu.

Obrolan tidak penting menjadi penting. Aku memasang telinga lebar-lebar agar bisa mendengar setiap kata yang diucap. Kami berbicara hal ini dan itu tanpa saling menatap, hanya aku yang menatap. Itu pun hanya dengan sedikit keberanian.   

Tawaan renyah bersama dia menjadi barang langka. Waktu 30 menit menjadi waktu yang sangat singkat seperti sebuah kedipan mata. Tangan kami bersentuhan secara tidak sengaja. Jantungku berdebar seperti remaja yang sedang kasmaran. Aku mulai kecanduan. Ulangi lagi hari Jumat itu, agar setiap hari menjadi seperti Jumat malam itu.

Aku tak peduli dengan keadaanya, jika tidak ada yang mau atau tidak bisa disalahkan, mungkin aku bisa menyalahkan keadaan. Aku mengantar Nanda pulang, kebetulan hari itu hujan deras dan kebetulan arah pulang aku dengannya searah. Nanda turun dari mobilku dan melambaikan tangannya ke arah pintu yang disambut oleh seorang anak perempuan berusia 10 tahun di depan rumahnya yang tak lain adalah anak tunggal Nanda.

Jumat Pertama

Farewell party manager di kantorku terbilang sudah kelewatan. Mr. Ryu akan kembali ke Jepang dan ia menggiring semua karyawannya untuk berpesta. Jujur saja, aku bukan benci alkohol, aku hanya menghindarinya. Namun, teman sekantor mencekokiku dengan minuman yang tidak aku mengerti apa mereknya, yang pasti membuatku mabuk hingga semuanya terasa menegang. Mereka tahu aku bukan peminum. 

Perempuan itu, berambut ikal panjang, dan mataku tertuju padanya. Aku terduduk lalu ia menghampiriku. Tubuhnya membayang jadi dua, namun senyum dan dua lubang di pipinya ketika tersenyum masih terlihat. Ia menghampiriku dengan dan memapahku yang tak lagi sadar. Entah bagaimana tubuhku yang tinggi kurus bisa yang giring ke dalam mobil.

Kulit kami saling bersentuhan tanpa rasa malu Nanda menciumku perlahan. Alkohol memang membuat siapa pun lupa akan siapa dirinya. Aku mabuk. Apa Nanda pun mabuk? Aku tak tahu pasti. Sentuhan dan belaian hangatnya saja yang bisa aku rasa, hingga kau tahu pasti apa yang aku lakukan dengan Nanda. 

Jumat Ketiga

Awalnya tak pernah ada rasa sedikit dengan ibu beranak 1 itu. Aku hanya seorang bujang 34 tahun yang takut untuk mendekati perempuan. Aku ini bukan lelaki introvert, aku tegaskan lagi, aku hanya tidak bisa mendekati perempuan. Kami masih duduk berhadapan yang terhalangi oleh sekat kaca transparan. Tentu wajahnya selalu muncul di hadapanku. Konsentrasi bekerjaku mulai menurun. 

Seakan tak pernah ia sadari apa yang pernah ia lakukan di Jumat pertama. Sentuhannya masih terasa dan terbayang tak tahu waktu. Bibir tipisnya seakan mengajakku untuk berbicara dan mendaratkannya di sana. Tidak, sebaiknya aku harus pindah meja kerja. Setidaknya rambut ikal panjangnya tak melambaikanku untuk menggodanya. 

Sementara itu, aku pindahkan laptopku ke meja Alisha yang sedang business trip dalam jangka waktu panjang. Setidaknya aku memunggungi Nanda. Aku tak tahan.

Jumat sore ini hujan lagi. Aku berjanji bertemu teman kampus yang sudah lama tidak bertemu di restoran Mexico daerah Panglima Polim. Aku tiba terlebih dahulu. Seperti biasa, Andri selalu datang terlambat. 

“Sudah tiga batang nih, bos?” Andri menghampiriku.
“Wah....kebiasan lo nih, Ndri, ngaretnya kadang kurang ajar” kami saling berpelukan tapi bukan a la bromance.
 Kami tertawa sebentar.
“Sama siapa Den? Masih sendiri aja nih?” Tanya Andri
“Ya seperti biasa still stay alone but not lonely”.
“Mau gue kenalin gak sama temen-temen kantor baru istri gue? Cantik-cantik loh, kebetulan gue ajak dia kesini”
“Mana bini lo? Percuma cantik kalau udah jadi bini orang mah, Ndri. Seumur gue mana ada perempuan yang masih lajang”
“Lagi di toilet dia. Tenang, istri gue jagonya nyomblangin orang. Nah, ini dia orangnya datang. Sayang, kenalin ini Deni temen sekelasku dulu jaman kuliah waktu di Surabaya.”
“Deni”
“Nanda”






Sunday, November 8, 2015

Tabebuia

Wish i could turn you back into a stranger
Cause if I was never in your life
You wouldn't have to change this
But I know that I'll be happier
And I know you will too
- Tame Impala, Eventually.




Menyesap sebatang tembakau yang tak habis-habis. Hisap sebentar, lalu ku biarkan angin yang menghabiskannya. Semua orang suka senja, aku suka sore. Pukul 4 adalah milikku. Melihat Tabebuia yang tumbuh dengan perlahan membuatku merasa dunia pernah berpihak padaku.

Reza tak pernah datang hingga hari ini, padahal Tabebuia miliknya sudah ku rawat dengan sebaik-baiknya. Lima tahun yang lalu, ia memberi benih Sakura Jawa tersebut. Aku ingin yang warnanya merah jambu, tapi ketika tumbuh ia malah berwarna kuning.

Aku merawatnya sendiri. Berbagi tanah. Menyayangi dan menjaga dengan sebaik-baiknya. Di kala musim hujan atau kemarau aku sangat insecure pada Tabebuia. Siapa yang tak suka melihatnya, tinggi, kokoh, bahkan teduhnya Tabebuia miliknya yang juga milikku juga tidak tak ada yang mengalahkan. Warnanya terlalu memikat.

Menolak lupa dengan menghitung mundur ribuan hari ke belakang. Mencampuradukan ingatan perlahan. Mundur boleh saja untuk meluapkan ingatan baik, ingatan buruk dibuang pun akan sangat jauh lebih baik. Reza terlalu mengganggu pikiranku.

Dear Dahayu,
Entah mengapa saat kita bertemu bulan Februari lalu, semuanya berubah. Aku seperti sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Kamu mengalahkan kenyamanan apa pun. Aku ingat persis apa yang pernah kamu ucap, hingga kini aku begitu ingat ketika kamu mengatakan bahwa kamu lebih suka teh dari pada kopi. Kamu kebalikan dariku. 
Aku ingat pula saat kamu sangat terkagum melihat Tabebuia di kebun rumahku, sehingga aku memberimu 1 benih. Mungkin sekarang pohon cantik itu sudah melebihi pohon jambu depan rumahmu.
Tapi Dahayu, memutuskan adalah cara yang baik untuk mengakhiri atau bahkan memulai. Kadang menikah dengan orang dicintai, apalagi saling mencintai adalah keberuntungan yang tidak bisa semua orang dapatkan. Banyak yang menikah, tapi tidak saling cinta. Apa itu egois? Bagiku, iya.
Kamu bukan orang egois, aku tahu itu. Pikirkan baik-baik. Menikah itu seumur hidup hanya sekali. Kamu ingat apa yang pernah Djenar tulis? “Cinta tanpa menikah lebih sakral, dari pada menikah tanpa cinta” aku menyetujuinya. Bukan siapa yang lebih awal mengenalmu atau bahkan melamarmu, but who you love.

Email terakhir dari Reza. Entah apa maksudnya, ia mengirim pesan tersebut setelah memutuskan untuk tidak pernah menemuiku lagi dan menemui orang tuaku. TTS kalah membingungkan dibandingkan dengan jalan pikirannya.

Kembali menjadi orang asing adalah jalan tengah bagiku dan baginya, begitu pun bagi waktu yang telah kita bagi dan ruang yang kita pernah tempati. Mengembalikannya kembali menjadi orang asing pun adalah satu-satunya cara agar aku dengannya kembali bahagia. Sebelum ada dia, duniaku baik-baik saja, begitu pun dengan dirinya. Setelah ada dia, hidupku lebih dari baik-baik saja, tapi apa itu kebalikannya darimu, Reza?.

Sesungguhnya aku tak perlu terlalu berusaha merawat Tabebuia. Semua orang tahu bahwa Tabebuia lebih mudah hidup di musim kemarau dan akan tumbuh lebih cantik di musim hujan. Ia tahan dengan gangguan hama apa pun. Semuanya karena aku terlalu menyayangi Reza, hingga akhirnya ia memilih untuk tidak lagi melibatkanku dalam kehidupannya. Sudahlah, tak ada lagi guna menyebut dan mengingat namanya lagi.

Seperti biasa, setiap pukul 4 sore aku duduk di taman depan rumahku, kembali membiarkan angin menghabiskan sisa tembakauku. Tabebuiaku semakin besar dan cantik. Asalnya bukan dari Brazil yang pernah ia beri, melainkan dari rahimku. Reza menanamkan benih di tanah kandunganku. Tabebuia sudah 4 tahun dan sebentar lagi ulangtahun yang ke-5. Tabebuia seakan mengerti dan tak pernah bertanya peran ayah di dalam sebuah keluarga.

Ayahnya tak pernah mengetahui bahwa sudah ada Tabebuia lain yang telah hidup. Sebaiknya, ia akan selalu menjadi orang asing bagiku dan Tabebuia.