“Do not fallin in love with people like me, i will take you to museums ,
parks, and monuments, and kiss you in every beautiful place” – Caitlyn
Shiels
Pernah ada
seseorang yang memintaku untuk mendekatkan jarak agar bisa selalu bertemunya
kapan pun. Kami dulu pernah saling mengharapkan dan menginginkan, tapi sekarang
sudah tidak. Aku terlanjur memberanikan diri untuk terjun tanpa tahu risiko apa
yang terjadi jika aku terjatuh, namun aku tetap bertahan disini. Bukan karena
dia, dia sudah pergi, tetapi aku tetap bertahan disini untuk diriku sendiri.
Namanya Garwani
Indra Prasta. Orang-orang memanggilnya Gani. Mereka sering menyebutkan bahwa
Gani adalah seorang yang menyebalkan. Tentu itu benar adanya. Dulu, Gani adalah
seorang yang menyenangkan. Kami berdua jarang bertemu, namun setiap kali
bertemu, kami selalu menghabiskan waktu dengan cara yang sederhana.
Aku ingat jelas,
kami menghabiskan sisa malam di lapangan basket dengan lampu sorot sayup dan
kami berdua bermain basket bersama, saling bercerita dan menertawakan masa lalu
kami masing-masing atau sekadar berjalan-jalan ke museum, bertukar ilmu
mengenai hal yang kita ketahui.
Menunggunya di
stasiun, lalu mengantarnya pulang kembali ke kota kami masing-masing atau
kebalikannya. Siang hingga menjelang malam, kami hanya berada di stasiun, dia
menemaniku hingga kereta malam menepati jadwalnya untuk mengantarkanku pulang.
Bahwa sepuah
peluk di stasiun atau di bandara adalah sebuah pesan awal kerinduan. Tak lupa
kecupan yang mendarat di kening. Seakan menjadi drama singkat yang bebas
dinikmati oleh pengunjung dan petugas setempat. Jarak adalah musuh bagiku dan
Gani. Namun, berkat jarak, cinta berpihak.
Suatu Sabtu,
beberapa hari setelah aku mendekatkan jarak dengannya, ia memintaku bertemu di
Museum Nasional. Aku melihat punggungnya di sana. Aku tahu itu Gani, lalu ia
membalikan tubuh tegapnya perlahan tanpa senyuman yang tergambar di wajahnya.
“Gani….”
“Kita gak bisa
sama-sama lagi, Ta”
“Maksud kamu?”
“Aku sadar,
ternyata selama ini aku gak cinta sama kamu”
“Semudah itu,
Gan? Kamu gak mikirin perasaan aku? Aku ini kurang apa? Aku harus gimana biar
kamu cinta sama aku?”
“Cinta gak bisa
dipaksain, Ta. Kasian kamu kalau harus ngejalanin tanpa cinta”
Rasanya aku
ingin mengambil tombak, rencong, atau kujang yang ada di museum ini, lalu
menancapkannya di dada pria ini. Tanpa pikir lagi, aku pergi meninggalkannya
dengan hati yang sudah kamu tahu seperti apa rasanya diperlakukan seperti aku
ini adalah penghuni tunggal ruang hatinya lalu dijatuhkan dengan
sejatuh-jatuhnya dengan alasan konyol dan tidak masuk akal.
Katanya, cinta
itu memang tak ada logika, tapi tak ada cinta lo gila. Persoalan biasa yang
sesungguhnya biasa terjadi pula pada mereka yang setidaknya pernah dimabuk
asmara.
Malam beganti
pagi dengan hitungan ratusan hari yang tak terhitung. Stasiun Sudirman pukul 5
sore masih terjejal penuh oleh penumpang naik dan turun. Jakarta membuat orang
menjadi seorang yang egois, aku senagaja tidak memasuki gerbong khusus wanita,
karena aku lelah dan kesempatannya sangat kecil untuk bisa mendapatkan tempat
duduk. Setidaknya di gerbong umum, pria akan sedikit mengalah.
Gerbong terlalu
padat, untuk bergerak mengambil handphone di dalam tas pun tidak bisa. Mulut
ketemu mulut. Pantat ketemu pantat. Saat commuter berhenti di stasiun Tebet,
beberapa orang keluar dan seorang pria masuk ke gerbong, tepat berdiri di
hadapanku, Gani. Pria ini muncul lagi.
Kami saling
menatap, semuanya terasa kaku. Wajahku dan wajahnya hanya berjarak sejengkal
jari. Jika commuter ini ngerem mendadak, maka bibirnya bisa mendarat di
bibirku. Tak ada kata yang terucap di antara kami, meski kami saling berhadapan
dan tidak bisa bergerak apalagi berpindah ke tempat lain. Selintas Gani masih
seperti dulu, bahunya masih bidang dan tegap, beserta dengan kumis tipisnya
masih menjaga ketampanannya. Oh…tidak. Ini membahayakan dan menyebalkan.
Commuter
berhenti di stasiun Duren Kalibata, aku dengan tergesa-gesa turun berharap Gani
tak menemukan tubuhku.
“Ananta”
Tubuhku terpaku.
Membeku.
Suara itu.
Jangan
membalikan badan, Ta.
Jangan.
“Kamu banyak
berubah, rambutmu yang panjang kamu pangkas habis menyerupai rambutku. Ta, I learn from my mistakes and try to become
better. But, humans make mistakes and humans can change”
“Maksud kamu?”
aku masih tak mau membalikkan badan.
“Ta…”
Aku tak tahan.
Akhirnya aku membalikkan badan dan melihatnya sudah berada dekat di belakangku.
“Ta…akhirnya
Tuhan masih memanjangkan tangan-Nya untuk kita. Aku berbohong padamu. Dulu aku
memutuskan hubungan kita dengan alasan aku gak cinta sama kamu itu bohong. Aku
cinta kamu, Ta. Tapi saat itu keadaanya berbeda, aku gak lagi seperti dulu”
“……..”
“Ta…aku gak bisa
lagi main basket tengah malam sama kamu, aku gak bisa lagi lama-lama menemani
kamu di stasiun atau di bandara, dan aku gak bisa lagi menemani kamu museum
tour”
“Apa perlu aku
tanya kenapa?”
Mataku berlarian,
menghindari matanya coklat mudanya. Sebentar, aku melihat bayanganku di
pantulan kaca pintu gerbong commuter, namun tidak ada pantulan tubuh Gani.
Dalam beberapa detik, commuter melaju. Aku berdiri di tepian peron dan terpaku
seakan bibirku tak bergerak. Membeku. Perlahan aku coba menatap Gani. Sialnya,
Gani menghilang, tanpa aku melihat punggungnya pergi.
Telepon ku
bordering, Alia meneleponku.
“Halo” Sahutku.
“Ta, Gani udah
gak ada. Gani kecelakaan”