Untuk Doni,
Bukan kamu yang memaksaku pergi, tetapi aku yang menyerah dengan
keadaan. Seakan takdir tidak bisa diubah. Seakan dunia tidak pernah berpihak
padaku. Semua tahu, akan ada yang disalahkan ketika pasangan tidak lagi
bersama, entah aku, kamu, atau keadaan.
Selama ini aku hanya menjalankan tugasku di dunia sebagai manusia yang
hidup dengan moral yang baik, seorang anak yang berbakti pada orang tuanya,
seorang istri yang patuh pada suaminya, seorang ibu yang melahirkan dan merawat
anak-anaknya dengan baik, dan tentu sebagai seorang perempuan yang ditakdirkan
untuk menerima.
Jika semua tugasku sudah selesai, apa aku bisa meraih atau bahkan
menciptakan kebahagiaanku sendiri yang selama puluhan tahun ini aku simpan?
Maya dan Arya kini sudah menikah dan semua tugasku sudah selesai. Maka
tidak ada alasan lain untuk aku bertahan di sini. Terima kasih sudah
mencintaiku, meski aku percaya bahwa cinta hanyalah mitos.
And there's never a right time to say goodbye.
Anita.And there's never a right time to say goodbye.
Arya, anak lanang.
Begitu surat yang aku temukan di
atas meja makan kemarin sore. Ayah terus mencari ibu, padahal usia ayah sudah
menginjak kepala 6 dan kesehatannya tidak lagi seperti dulu. Entah apa isi
kepala ibu dengan tega meninggalkan ayah sendirian.
Aku tidak bisa benci pada ibu,
tetapi aku membenci keegoisannya. Bolehkah aku membenci bagian dari ibu? meski
aku tahu hal ini bisa dibenci pula oleh Tuhan. Ayah tak henti-henti menangis
dan melamun, berjalan kaki di sekitar rumah mencari ibu, menanyakan pada
tetangga dan orang-orang yang berlalu lalang tentang keberadaan ibu.
Doni, suami Anita.
Anita, perempuan cantik yang aku
nikahi 27 tahun lalu kini pergi. Aku ingat waktu pertama kali bertemu
dengannya, ia mengenakan rok abu dan kemeja merah jambu, rambutnya diikat ekor
kuda, dan sepatu merah marun di kampusku. Saat itu ia sedang studi banding di
Fakultas Seni.
Anita, engkau tanpa malu
mendekati dan menanyakan siapa namaku, dengan jantung yang berdebar tak karuan
aku berkata, “Saya Doni Anggoro, jurusan Manajemen”. Anita pintar, ya, ia
pintar mengambil hatiku. Ia banyak mengubahku. Aku yang pendiam dan introvert berubah menjadi sosok yang
terbuka dan senang berteman dengan siapa pun, sepertimu....Anita.
Anita, ingkatkah kamu saatku
melamarmu? engkau tak langsung menjawab lamaranku, engkau mendiamkanku beberapa
hari, akhirnya kau datang ke tempat kost di dekat tempat kerjaku dan menjawab,
“tidak, aku tidak bisa menikah denganmu, Mas.”
Anita, usahaku menikahimu ternyata
tidak sia-sia. Saat engkau mengatakan tidak, aku semakin mengejarmu. Aku nekat
bertemu orang tuamu yang jauh di sebrang pulau Jawa. Gajiku sebagai pegawai
Bank yang baru dikontrak selama 1 tahun, hanya cukup untuk bayar kost dan makan
sehari-hari, aku tetap ingin melamarmu, meski ku tahu, kau sudah bersama pria lain.
Anita, engkau memang menerima
lamaranku dan menikah denganku. Rasanya tak pernah ada masalah. Aku merasa kau
mencintaiku juga. Jika pun rumah tangga kita sedang berada dalam masalah, tetapi
kita tetap bisa menyelesaikannya. Apa kamu ingat saat aku di PHK karena krisis
moneter? Engkau dengan sabarnya memberiku support
hingga akhirnya kita berdagang masakan Makassar di dekat pasar dan kini usaha
kita ternyata tidak sia-sia.
Anita, ternyata semuanya menjadi
sia-sia jika pada akhirnya engkau pergi. Jika aku tahu engkau akan pergi di
usia kita yang sama-sama senja dan hanya perlu menghitung hari kapan kita akan
mati, maka aku tak perlu mengejarmu hingga ke Makassar saat engkau mengatakan
‘tidak’.
Maya, anak cikal.
Perutku sudah membesar, Bu. Cucu
pertama ibu sebentar lagi akan lahir ke dunia, tapi mengapa ibu pergi ketika si
jabang bayi ini akan lahir? Apa ibu membenci kami? Apa aku dan Arya belum cukup
berbakti pada ibu?
Bu...sesungguhnya kebahagiaan apa
yang ibu inginkan? Harta? Bukankah ayah telah memberikan segala apa pun yang
ibu inginkan? Soal Arya? Arya kan sudah membuktikan bahwa ia bukan seorang gay seperti apa yang ibu curigai selama
bertahun-tahun karena ia tak pernah punya pacar. Ia telah menikah dengan Lika 3
hari lalu.
Aku harus mencari ibu ke mana? Ke
Makassar? Apa yang ibu kejar di sana? Aku tak bisa lagi pergi jauh kemana-mana
atau kah ibu memang tak ingin dicari?
Anita
Arya....kamu boleh membenci ibumu ini, nak. Semua kekhawatiran ibu
terhadapmu sudah terbayarkan. Lika bisa menjagamu lebih baik dari pada ibu.
Maya...Jagalah cucuku, pasti ia akan lebih bahagia ketika melihat
eyangnya sudah jauh lebih bahagia dari beberapa puluh tahun sebelumnya. Beri ia
nama Himaya.
Doni...suamiku, terima kasih telah menjadikanku seorang istri dan
seorang ibu. Jangan bertanya apakah aku mencintaimu atau tidak. Aku di sini
baik-baik saja. Aku tidak mau menyusahkanmu lagi.
Anita menulis surat tersebut
dengan tangan yang gemetar, penglihatannya sudah kabur, dan sesekali ia menetaskan
air mata. Berjalan dengan kaki yang tak lagi bisa berjalan cepat, ia mendatangi
kantor pos lalu pergi ke sebuah bangsal, tempat ia akan menghabiskan
sisa harinya.
“Apa sudah siap dengan keputusan
ibu? Ibu Anita masih punya kesempatan”
“Ya, beri tahu keluargaku ketika
jenazahku sudah dipulangkan ke Makassar”