Wednesday, May 24, 2017

Bandung dan Bagian Hati yang Lain

“Dan Bandung bukan hanya membuatmu jatuh hati, sering kali menjadikanmu seseorang yang patah hati”
pic: pinterest
“Cepat pulang ya, aku sendirian di sini. Aku bosan” Begitu katanya. Ia menyedorkan segelas teh hangat kesukaanku saat aku dating dan saat aku akan kembali ke Jakarta di Senin dini hari. Ah, perempuan itu selalu membuatku ingin kembali.
Bandung bukan hanya sebagai bijanaku, namun Bandung adalah bagian hatiku yang lain. Sejauh apa pun kamu pergi, kamu akan tetap rindu pulang dan membutuhkan rumah. Romantisme Jakarta di Jumat ketiga meredakan segala amarahku padanya, namun hanya sebentar. Aku membutuhkan pulang.
Hari itu, di Jumat ketiga di bulan Desember yang hujan. Aroma tanah basah seakan menyambutku datang. Seorang perempuan berambut sebahu dan bermata indah itu pasti sudah menantiku. Biasanya secangkir teh hangat akan menyambutku ketika pulang. Senyum terpancar di rona pipinya sudah aku bayangkan seharian.
Sebuah peluk menjadi candu sedari dulu dan belaian hangat yang tak akan tergantikan. Senyum simpul ketika aku membuka pintu dan yang dirindu pun tidak ada di tempat biasanya. Kemana ia pergi? Ku cari setiap sudut ruang yang dinamakan rumah, ternyata tidak ada. Tak ku temukan pula sebuah memo yang biasa ia catat setiap hari Jumat. Jangan berpikir bahwa ada secangkir teh hangat yang biasanya tersedia di kamarku.
Aku yang kelelahan tetap berusahan mencarinya, ini sudah lebih dari tengah malam. Di mana keberadaan tempat aku pulang? Sayangnya, ia hanya di sini sendirian, salahnya aku terlalu berjarak dengannya. Aku kebingungan dan aku kelelahan.
pic: pinterest
 “Aa, maaf saya tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Saya yakin, kamu bisa lebih berlapang dada menerima kenyataan.
Aa, saya taruh teh oolong kesukaanmu yang selalu saya buatkan setiap Jumat tengah malam di toples kaca di sudut dapur. Kamu bisa buat tehnya sendiri kan?
Aa, selalu ingat Allah di hatimu, jaga diri baik-baik, jangan kebanyakan makan gorengan, minum air putih yang banyak, dan kembalilah pada istri juga anak-anakmu.”
Begitu barisan kata yang Lidya tulis dalam secarik kertas. Hatiku patah. Aku harus mencari Lidya. Namun, aku harus mencarinya ke mana? Dia sendirian di kota ini. Mataku basah, air mukaku yang lelah semakin larut dalam kesedihan.
Sabtu pagi mataku terbangun dengan rasa yang hampa dan penuh kepedihan. Oh Lidya, aku harus mencarimu ke mana? Sebentar….Ini bukan rumah Lidya. Suasana serba kayu mendominasi rumah Lidya, namun sekarang aku berada di sebuah ruangan serba putih. Aku merasa hilang.
“Theresa? Jaden? Andra?” Ali menatap seorang perempuan dan dua anak laki-laki, ia berlari dan memeluk erat ketiganya.
“Aa, kamu sudah di rumah dan satu tahun ini kamu berada di Bandung, kamu tidak kemana-mana, begitu pun aku dan anak-anak” Ucap Theresa.
Theresa, perempuan itu sudah tidak menangis lagi, air matanya seakan mengering. Ia tersenyum.
 “Terkadang ia menjadi Ali, terkadang ia menjadi Lidya, hal ini terjadi karena ia mengalami trauma yang sangat mendalam akibat ditinggalkan oleh adiknya, Lidya. Ali ingin menghidupkan Lidya kembali dalam kehidupannya. Hal ini mungkin terjadi karena Lidya dan Ali hidup dan berjuang berdua setelah kedua orang tuanya meninggal saat mereka remaja. Ali sudah seperti malaikat penjaganya.
Semenjak Lidya hilang setahun yang lalu ketika Ali bekerja di Jakarta dan keberadaanya kini tak tahu ada di mana. Ali depresi, merasa bersalah, Ali kehilangan tenaga dan habis pikiran untuk mencari Lidya. Hingga suatu hari aku menemukannya berdandan seperti Lidya, memakai lipstick, rok, bahkan memakai bra milikku sambil minum segelas teh oolong kesukaan adiknya, dan berbicara sendiri seolah sedang berbicara berdua dengan Lidya.
Hatiku hancur, aku kehabisan kata, namun setahun ini begitu berat. Tak apa, Ali sudah kembali. Lidya benar-benar pergi, aku harap ia tak lagi kembali. Aku menganggapmu sudah tidak ada.”