Sekilas matanya saja yang Risa lihat hari ini. Tidak ada
tatapan balik apalagi sapaan dan semua terjadi berulang seperti pada setiap
harinya. Jangan harapkan apalagi memikirkan soal sentuhan. Risa menjadi seorang
penggemar rahasia seorang lelaki. Bukan hanya penggemar rahasia tetapi ia penggemar
berat yang sangat merahasiakan kegemarannya menggemari lelaki bernama Barata.
Jangan salah kaprah berbicara soal penggemar berat. Barata
bukan seorang aktor, penyanyi, atau pemain band, Barata hanya lelaki kantoran biasa.
Wajahnya pun tidak begitu rupawan bak pemain biola Iskandar Widjaja,
kebaikannya pun tidak seperti seorang ustad atau pastor, kekayaannya masih
kalah jauh dengan kekayaan keluarga cendana, dan dia bukan lelaki yang suka
melucu seperti Tukul Arwana. Barata hanya lelaki biasa tetapi Risa begitu
menyukai lelaki berdarah Sunda-Batak tersebut.
Mata Barata tak pernah lari dari monitor komputernya, hanya
terfokus pada satu objek sedangkan mata Risa berkeliaran mencari celah di
antara pekerjaannya untuk sekedar melihat dan berharap Barata membalas
tatapannya. Meskipun hanya 1 kali dan 1 detik saja pun tak apa.
Semua mulut di gedung lantai 17 terkadang membicarakan soal
Barata. “Barata itu gak pernah ngomong ya?” “Barata itu bisu” “Minta dia bicara
aja pelit banget, apalagi minta dibayarin” “Barata itu gay” “lelaki itu bukan gay
tapi anti-sosial” dan masih banyak lagi kalimat-kalimat cibiran yang Risa
dengar setiap harinya. Risa tak menanggapinya dengan serius. Bagaimana pun
Barata, Risa tetap suka Barata.
Risa memerhatikan setiap pola tingkah laku yang dilakukan
Barata. Ia melihat lelaki itu setiap 1 jam sekali meninggalkan meja kerjanya
dan berlalu meninggalkan ruangan. Risa tak pernah tahu kemana perginya lelaki
itu. Risa hanya berpikir mungkin Barata ke toilet atau ke pantry untuk sekedar
buang air atau membuat kopi. Tetapi Risa dihantui rasa penasaran, ia menguntit
Barata yang meninggalkan ruangan. Dengan perlahan tanpa suara ia menginjak anak
tangga pintu darurat. “Hah? Pintu darurat? Ini si Barata mau ngapain sih?” Risa
mengumpat dalam hati.
Barata membuka pintu darurat lantai 18, Risa berada di bawah
beberapa anak tangga yang Barata pijak. Risa mengernyitkan dahi karena silaunya
pancaran matahari pukul 11 siang. Risa berusaha bersembunyi agar tidak terlihat
oleh lelaki pendiam itu. Barata tidak menutup pintu dan ia berlalu menuju ujung
atap gedung yang lapang. Perempuan penguntit itu mengintip Barata, ia ingin
mengetahui apa yang dilakukan lelaki yang membuatnya tergila-gila.
Tak ada yang berarti. Barata hanya membakar gulungan
tembakaunya saja. Satu jam cukup satu batang. Jadi jika dikalkulasikan 9 jam
bekerja ia menghabiskan 9 batang rokok. Bukan 9 tetapi 10, sepulang kerja
Barata kembali naik ke atap gedung. Risa merasa pendapatkan reward. Ia merasa diberi hadiah poin
undian telah mengetahui kebiasaan yang dilakukan Barata. Tidak satu jam sekali.
Mungkin 3 jam sekali Risa kembali menguntit Barata dan berdecak kagum dengan
pipi memerah melihat punggung Barata setiap hari. Entah apa yang dikagumi Risa
dari seorang perokok berat. Pokoknya Risa mengagumi apa pun yang dilakukan
Barata.
Rasa Risa pada Barata
setiap harinya semakin melambung jauh. Risa bukan hanya seorang penggemar berat
Barata tetapi Risa mulai mencintai Barata. Mencintainya diam-diam. Sebelum tidur,
Risa tak pernah lupa berdoa dan pillow talk
dengan Tuhan. Ia menceritakannya dalam hati di setiap menit sebelum tidur.
Tuhan, mata kan diciptakan untuk melihat. Mengapa ia tak
pernah melihatku? Apakah ia mengetahui keberadaanku? Tolonglah Tuhan alihkan
matanya padaku sekali saja. Aku ingin ia tahu bahwa aku menggemari tatapan
matanya yang telah Engkau ciptakan.
Tuhan, tubuh berbau tembakaunya mulai aku cium hari ini, tadi
dia melintas di hadapanku tapi ia sama sekali tak menatap mataku, matanya
tertuju pada secangkir kopi hitam yang sudah dibuatnya. Wangi tubuh yang
bercampur dengan bau tembakau itu terasa melekat di hidungku. Jangan campuri
hidungku dengan bau yang lain.
Tuhan, aku ingin menemaninya menghambiskan bakaran tembakau.
Bukan saja menemani. Tetapi aku ingin bersama-sama membakar dan menghabiskan
tembakau di sore hari. Biarkan tubuhku ikut pula menjadi bau tembakau seperti
tubuhnya.
Tuhan, apakah ia benar bisu? Mengapa ia jarang sekali bicara?
Aku hanya mendengar sedikit kata dari mulutnya. Bisakah membuat mulutnya
mengeluarkan beberapa kata untukku. Berkata apa saja. Jika bisa, berkata
sesuatu yang manis dan menggelitik.
Satu lagi Tuhan, Boleh kah? Begini, apakah dia menginginkan
seorang teman bicara? Jika ingin, aku bersedia menjadi teman bicaranya. Lalu,
apakah dia ingin mempunyai seorang teman yang selalu bersedia menyediakan
pundaknya untuk bersandar? Jika ingin, aku akan dengan senang hati memberikan
pundakku untuk sandarannya di kala lelah. Kemudian, apakah dia ingin mempunyai
seorang teman untuk menemaninya hidup. Jika ingin, tentu saja aku sangat ingin
menjadi teman hidupnya. Cukup Tuhan, itu saja yang ingin aku ceritakan malam
ini.
Mata Risa masih saja
berkeliaran berusaha untuk menangkap tatapan balik barata tapi usahanya tak
pernah berhasil. Pukul 5 sore, Barata kembali keluar ruangan. Risa baru
menguntitnya 2 kali hari ini. Barata hari ini menggunakan kemeja berwarna navy, secara kebetulan Risa menggunakan
blazer berwarna senada dengan Barata.
Risa mengitipnya sedikit
dam tersenyum simpul karena Barata mengenakan warna baju yang sama dengannya.
Tanpa bisa ditebak, Barata menoleh ke belakang dan menangkap mata Risa yang
sedang menatap seluruh tubuh Barata. Risa terkaget karena Barat datang
menghampirinya. Perempuan berambut panjang itu gugup bukan main dan mematung
tak bisa bicara ketika Barata menatap matanya dan berkata “Naiklah!” sambil mengulurkan
tangannya pada Risa.
Jangan salahkan sunset di
langit Jakarta yang terhalangi tingginya gedung, ia memang tak seindah sunset
di laut lepas tetapi bagi Risa Sunset sore itu mengalahkan sunset di seluruh
penjuru dunia.
“Mau menemaniku merokok?”
Barata menawarkan beberapa batang rokok mild merek ternama pada Risa.
“Kenapa menawariku rokok?
Lancang kamu!” Risa mengambil satu batang rokok sambil tersenyum genit.
“Warna bibirmu tak bisa
berbohong, Risa! Bibirmu terlampau menghitam tapi lipstik merahmu cukup
membantu” Risa terkaget mengdengar ucapannya dan membiarkan jari Barata
menyalakan pemetik api untuk tembakau yang berada di tepi bibir Risa.
“Dan wangi parfum mahalku
terkalahkan oleh wangi tembakau murah” mereka berdua tertawa renyah.
“Jangan menguntitku
seperti itu lagi, jika kamu ingin menemaniku merokok, naiklah! Atau mungkin
kamu butuh teman bicara, bicaralah Risa!” Barata menatap mata Risa begitu
dalam. Risa terpaku. Risa terpukau.
“Barata, jika kamu ingin
bersandar karena lelah. Pundakku akan menerimamu dengan senang hati”
Barata bukan hanya sekedar
bersandar tetapi ia menatap mata Risa, mata Barata mulai berair dan tubuh besar
Barata jatuh memeluk tubuh kecil Risa.
“Risa…aku lelah. Aku
letih. Aku ingin berhenti menjadi seorang bisu yang sulit bicara. Aku ingin
bicara, aku ingin berteman, aku ingin menjadi manusia seperti kamu yang
mempunyai banyak teman, bisa berbicara dengan semua orang, bisa berbicara apa
saja dengan temanmu-temanmu. Aku ingin ……………..” Barata benar-benar menceritakan
seluruh keluh kesahnya pada Risa dan Risa hanya diam. Diam membatu tak tahu
harus berkata apa. Ia hanya bisa membalaskan pelukan tubuh besar Barata.
Tangisan Barata berakhir
ketika tembakau yang mereka bakar telah habis menjadi abu. Pelukan itu berakhir
ketika matahari bergantian tempat dengan bulan.
“Risa, terimakasih untuk
semua doamu setiap malam pada Tuhan. Tuhan tidak mungkin jika tidak mendengar
doamu, Ia hanya menyimpannya dan mengabulkannya di waktu yang tepat. Risa,
separuh doamu sudah terwujud. Jika ada sisa doamu yang belum terwujud. Mungkin
bisa terwujud esok, lusa, minggu depan, bulan depan atau kapanpun. Percayalah,
Tuhan tidak pernah tidur”
Rabu, 13 November 2013
23:13