“Dan Bandung bukan hanya membuatmu jatuh hati,
sering kali menjadikanmu seseorang yang patah hati”
pic: pinterest |
Bandung bukan
hanya sebagai bijanaku, namun Bandung adalah bagian hatiku yang lain. Sejauh
apa pun kamu pergi, kamu akan tetap rindu pulang dan membutuhkan rumah.
Romantisme Jakarta di Jumat ketiga meredakan segala amarahku padanya, namun
hanya sebentar. Aku membutuhkan pulang.
Hari itu, di
Jumat ketiga di bulan Desember yang hujan. Aroma tanah basah seakan menyambutku
datang. Seorang perempuan berambut sebahu dan bermata indah itu pasti sudah
menantiku. Biasanya secangkir teh hangat akan menyambutku ketika pulang. Senyum
terpancar di rona pipinya sudah aku bayangkan seharian.
Sebuah peluk
menjadi candu sedari dulu dan belaian hangat yang tak akan tergantikan. Senyum
simpul ketika aku membuka pintu dan yang dirindu pun tidak ada di tempat
biasanya. Kemana ia pergi? Ku cari setiap sudut ruang yang dinamakan rumah,
ternyata tidak ada. Tak ku temukan pula sebuah memo yang biasa ia catat setiap
hari Jumat. Jangan berpikir bahwa ada secangkir teh hangat yang biasanya
tersedia di kamarku.
Aku yang
kelelahan tetap berusahan mencarinya, ini sudah lebih dari tengah malam. Di
mana keberadaan tempat aku pulang? Sayangnya, ia hanya di sini sendirian,
salahnya aku terlalu berjarak dengannya. Aku kebingungan dan aku kelelahan.
pic: pinterest |
“Aa,
maaf saya tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Saya yakin, kamu bisa lebih
berlapang dada menerima kenyataan.
Aa, saya taruh teh oolong kesukaanmu yang
selalu saya buatkan setiap Jumat tengah malam di toples kaca di sudut dapur.
Kamu bisa buat tehnya sendiri kan?
Aa, selalu ingat Allah di hatimu, jaga diri
baik-baik, jangan kebanyakan makan gorengan, minum air putih yang banyak, dan kembalilah
pada istri juga anak-anakmu.”
Begitu barisan kata yang Lidya tulis dalam
secarik kertas. Hatiku patah. Aku harus mencari Lidya. Namun, aku harus
mencarinya ke mana? Dia sendirian di kota ini. Mataku basah, air mukaku yang
lelah semakin larut dalam kesedihan.
Sabtu pagi mataku terbangun dengan rasa yang hampa dan penuh kepedihan. Oh Lidya, aku harus mencarimu ke mana? Sebentar….Ini bukan rumah Lidya. Suasana serba kayu mendominasi rumah Lidya, namun sekarang aku berada di sebuah ruangan serba putih. Aku merasa hilang.
Sabtu pagi mataku terbangun dengan rasa yang hampa dan penuh kepedihan. Oh Lidya, aku harus mencarimu ke mana? Sebentar….Ini bukan rumah Lidya. Suasana serba kayu mendominasi rumah Lidya, namun sekarang aku berada di sebuah ruangan serba putih. Aku merasa hilang.
“Theresa? Jaden?
Andra?” Ali menatap seorang perempuan dan dua anak laki-laki, ia berlari dan
memeluk erat ketiganya.
“Aa, kamu sudah
di rumah dan satu tahun ini kamu berada di Bandung, kamu tidak kemana-mana, begitu
pun aku dan anak-anak” Ucap Theresa.
Theresa,
perempuan itu sudah tidak menangis lagi, air matanya seakan mengering. Ia
tersenyum.
“Terkadang ia menjadi Ali, terkadang ia
menjadi Lidya, hal ini terjadi karena ia mengalami trauma yang sangat mendalam
akibat ditinggalkan oleh adiknya, Lidya. Ali ingin menghidupkan Lidya kembali
dalam kehidupannya. Hal ini mungkin terjadi karena Lidya dan Ali hidup dan
berjuang berdua setelah kedua orang tuanya meninggal saat mereka remaja. Ali
sudah seperti malaikat penjaganya.
Semenjak Lidya
hilang setahun yang lalu ketika Ali bekerja di Jakarta dan keberadaanya kini
tak tahu ada di mana. Ali depresi, merasa bersalah, Ali kehilangan tenaga dan
habis pikiran untuk mencari Lidya. Hingga suatu hari aku menemukannya berdandan
seperti Lidya, memakai lipstick, rok, bahkan memakai bra milikku sambil minum segelas
teh oolong kesukaan adiknya, dan berbicara sendiri seolah sedang berbicara
berdua dengan Lidya.
Hatiku hancur,
aku kehabisan kata, namun setahun ini begitu berat. Tak apa, Ali sudah kembali.
Lidya benar-benar pergi, aku harap ia tak lagi kembali. Aku menganggapmu sudah
tidak ada.”
No comments:
Post a Comment