Tuesday, January 26, 2016

Rumah Anita


Untuk Doni,

Bukan kamu yang memaksaku pergi, tetapi aku yang menyerah dengan keadaan. Seakan takdir tidak bisa diubah. Seakan dunia tidak pernah berpihak padaku. Semua tahu, akan ada yang disalahkan ketika pasangan tidak lagi bersama, entah aku, kamu, atau keadaan.

Selama ini aku hanya menjalankan tugasku di dunia sebagai manusia yang hidup dengan moral yang baik, seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, seorang istri yang patuh pada suaminya, seorang ibu yang melahirkan dan merawat anak-anaknya dengan baik, dan tentu sebagai seorang perempuan yang ditakdirkan untuk menerima.

Jika semua tugasku sudah selesai, apa aku bisa meraih atau bahkan menciptakan kebahagiaanku sendiri yang selama puluhan tahun ini aku simpan?

Maya dan Arya kini sudah menikah dan semua tugasku sudah selesai. Maka tidak ada alasan lain untuk aku bertahan di sini. Terima kasih sudah mencintaiku, meski aku percaya bahwa cinta hanyalah mitos.

And there's never a right time to say goodbye.

Anita.

Arya, anak lanang.

Begitu surat yang aku temukan di atas meja makan kemarin sore. Ayah terus mencari ibu, padahal usia ayah sudah menginjak kepala 6 dan kesehatannya tidak lagi seperti dulu. Entah apa isi kepala ibu dengan tega meninggalkan ayah sendirian.

Aku tidak bisa benci pada ibu, tetapi aku membenci keegoisannya. Bolehkah aku membenci bagian dari ibu? meski aku tahu hal ini bisa dibenci pula oleh Tuhan. Ayah tak henti-henti menangis dan melamun, berjalan kaki di sekitar rumah mencari ibu, menanyakan pada tetangga dan orang-orang yang berlalu lalang tentang keberadaan ibu.

Doni, suami Anita.

Anita, perempuan cantik yang aku nikahi 27 tahun lalu kini pergi. Aku ingat waktu pertama kali bertemu dengannya, ia mengenakan rok abu dan kemeja merah jambu, rambutnya diikat ekor kuda, dan sepatu merah marun di kampusku. Saat itu ia sedang studi banding di Fakultas Seni.

Anita, engkau tanpa malu mendekati dan menanyakan siapa namaku, dengan jantung yang berdebar tak karuan aku berkata, “Saya Doni Anggoro, jurusan Manajemen”. Anita pintar, ya, ia pintar mengambil hatiku. Ia banyak mengubahku. Aku yang pendiam dan introvert berubah menjadi sosok yang terbuka dan senang berteman dengan siapa pun, sepertimu....Anita.

Anita, ingkatkah kamu saatku melamarmu? engkau tak langsung menjawab lamaranku, engkau mendiamkanku beberapa hari, akhirnya kau datang ke tempat kost di dekat tempat kerjaku dan menjawab, “tidak, aku tidak bisa menikah denganmu, Mas.”

Anita, usahaku menikahimu ternyata tidak sia-sia. Saat engkau mengatakan tidak, aku semakin mengejarmu. Aku nekat bertemu orang tuamu yang jauh di sebrang pulau Jawa. Gajiku sebagai pegawai Bank yang baru dikontrak selama 1 tahun, hanya cukup untuk bayar kost dan makan sehari-hari, aku tetap ingin melamarmu, meski ku tahu, kau sudah bersama pria lain.

Anita, engkau memang menerima lamaranku dan menikah denganku. Rasanya tak pernah ada masalah. Aku merasa kau mencintaiku juga. Jika pun rumah tangga kita sedang berada dalam masalah, tetapi kita tetap bisa menyelesaikannya. Apa kamu ingat saat aku di PHK karena krisis moneter? Engkau dengan sabarnya memberiku support hingga akhirnya kita berdagang masakan Makassar di dekat pasar dan kini usaha kita ternyata tidak sia-sia.

Anita, ternyata semuanya menjadi sia-sia jika pada akhirnya engkau pergi. Jika aku tahu engkau akan pergi di usia kita yang sama-sama senja dan hanya perlu menghitung hari kapan kita akan mati, maka aku tak perlu mengejarmu hingga ke Makassar saat engkau mengatakan ‘tidak’.

Maya, anak cikal.

Perutku sudah membesar, Bu. Cucu pertama ibu sebentar lagi akan lahir ke dunia, tapi mengapa ibu pergi ketika si jabang bayi ini akan lahir? Apa ibu membenci kami? Apa aku dan Arya belum cukup berbakti pada ibu?

Bu...sesungguhnya kebahagiaan apa yang ibu inginkan? Harta? Bukankah ayah telah memberikan segala apa pun yang ibu inginkan? Soal Arya? Arya kan sudah membuktikan bahwa ia bukan seorang gay seperti apa yang ibu curigai selama bertahun-tahun karena ia tak pernah punya pacar. Ia telah menikah dengan Lika 3 hari lalu.

Aku harus mencari ibu ke mana? Ke Makassar? Apa yang ibu kejar di sana? Aku tak bisa lagi pergi jauh kemana-mana atau kah ibu memang tak ingin dicari?


Anita

Arya....kamu boleh membenci ibumu ini, nak. Semua kekhawatiran ibu terhadapmu sudah terbayarkan. Lika bisa menjagamu lebih baik dari pada ibu.

Maya...Jagalah cucuku, pasti ia akan lebih bahagia ketika melihat eyangnya sudah jauh lebih bahagia dari beberapa puluh tahun sebelumnya. Beri ia nama Himaya.

Doni...suamiku, terima kasih telah menjadikanku seorang istri dan seorang ibu. Jangan bertanya apakah aku mencintaimu atau tidak. Aku di sini baik-baik saja. Aku tidak mau menyusahkanmu lagi.

Anita menulis surat tersebut dengan tangan yang gemetar, penglihatannya sudah kabur, dan sesekali ia menetaskan air mata. Berjalan dengan kaki yang tak lagi bisa berjalan cepat, ia mendatangi kantor pos lalu pergi ke sebuah bangsal, tempat ia akan menghabiskan sisa harinya.

“Apa sudah siap dengan keputusan ibu? Ibu Anita masih punya kesempatan”

“Ya, beri tahu keluargaku ketika jenazahku sudah dipulangkan ke Makassar”


No comments:

Post a Comment